Kamis, 17 November 2011

talempong minangkabau

PENDEKATAN FILSAFAT SENI TERHADAP
RELIGI Dan KEBUDAYAAN MUSIKAL TALEMPONG JINJIANG MINANGKABAU

 

 

 

 

 

 

 

 

                    



Diserahakan sebagai salah satu syarat
 dalam mata kuliah Filsafat Seni





Andar Indra Sastra

     


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2011

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fisafat seni merupakan dua suku kata yang keduanya mempunyai keterkaitan dari sudut pandang pengetahuan. Menurut Dharsono (2007) mengatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan yang senantiasa bertanaya dan mencoba menjawab persoalan-persoalan yang sangat menarik perhatian manusia; di antaranya adalah estetika, artinya filsafat yang membicarakan keindahan – seni (Dharsono. 2007: 4). Dapat dipahami bahwa filsafat seni adalah pengetahuan yang selalu mempertanyakan masalah seni dalam konteks kehidupan masyarakat; dalam hal ini adalah masyaraat Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau dalam konteks seni dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) seni di bawah kendali adat istiadat Minangkabau; dan (2) seni dibawah kendali keagamaan atau religi. Secara filosofi keduanya mempunyai fungsi yang berbeda; makanya tambahan judul dalam tulisan ini, setelah filsafat seni dikaitakan dengan religi dan kebudayaan musical talempong jinjiang. Itu artinya mencerminkan bahwa kedua seni (seni “adat” dan seni “agamais”) itu akan menjadi kajian dalam tulisan ini; filsafat seni.
Seni adalah bagian dari kebudayaan dan tak terlepas dari kehidupan masyarakatnya; bisa jadi ia muncul pada kegiatan ritual, upacara, kebutuhan religi dan berbagai aktivitas kehidupan masyarakat dalam kepentingan yang berbeda-beda. Bahwa seni dengan segala bentuknya mempunyai arti dan peran penting dalam kehidupan manusia dan ia dapat dibaca sebagai ekspresi budaya –kebudayaan-- masyarakat pendukungnya. Menurut Dharsono (2011); memahami kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai dan symbol yang diajdikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Pengertian kebudayaan itu memberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi berupa hasil gagasan, dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya. Artefak seni yang lahir di bumi Nusantara merupakan ekspresi kebudayaan masyarakatnya dengan segala falsafah yang melatarbelakanginya ((Dharsono (Soni Kartika). 2011: 1).
Munculnya konsep Nunsantara sebagai padanan filsafat Barat --modern; merupakan sebuah gagasan besar dan sekaligus sebagai tantangan untuk membuktikan bahwa kiblat filsafat itu tidak mesti ke Barat –modern. Prinsip keduanya mempunyai filosofi yang berbeda dan kepentingan yang berbeda. Filsafat modern yang dilatarbelakangi pemikiran positifisme; akan melahirkan ego manusia (akal) sebagai hasil ciptaannya; sementara filsafat Timur –Nusantara, mecerminkan kolektivitas (fenomenologis). Demikian pula dalam hubungannya dengan kehidupan rohani; Dharsono (2011) mengatakan berikut ini.
Dalam kehidupan rohani, yang menjadi dasar dan memberi isi kebudayaan Nusantara –Jawa—benar-benar didapatkan usaha untuk mencari dasar awal segala sesuatu, renungan tentang apa yang terdapat di belakang segala wujud lahir, dan pencarian sebab terdalam dari padanya, yaitu penncarian tentang ”arti hidup manusia, asal mula, dan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi); dan juga hubungan antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta”. Filsafat dapat diartikan sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakekad segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar (Dharsono. 2011: 2).

Dari aspek religi; metode perenungan seperti dikatakan Dharsono di atas merupakan gambaran dasar untuk mencapai sesuatu kebeneran atau untuk menangkap cahya Illahi (khalawat, suluk dalam tasauf; Islam), semedi (Hindu), roh kudus (sekte Kristen), Tao (Cina).  Metode perenungan seperti itu dijadikan sebagai dasar filosofis untuk mewujudkan sesuatu –menginginkan sesuatu; termasuk karya cipta seni. Hal itu dipahami oleh para pengikut ajaran mistik; sebagai tranprormasi spiritual dari kesatuan maujud antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaannya. Jadi pengalaman essoteric sebagai pendalam makna dalam kehidupan memberikan pencerhan batin atas keterpesonaannya. Metode perenungan itu, dapat diperbandingkan dengan ragam  budaya Nusantara; Di Jawa dengan latar belakang pengaruh budaya Hindu dan Islam, menjadi singkretisme. Di Minangkabau; adat dengan Islam mencerminkan proses dialektis-dikotoms dan sintesis; dan bahkan membentuk garis demarkasi. Tentunya kedua kebudayaan itu mempunyai filosofi dan corak yang berbeda.
Terkait dengan apa yang dibicarakan di atas --filsafat; Dharsono (2011) mengatakan bahwa ajaran filsafat Jawa secara tersirat menjelaskan hubungan mikro-makro-metakosmos sesuai dengan sistim berfikir mistis Indonesia. Pandangan tentang makrokosmos, mendudukan manusia sebagai bagian dari semesta. Pandangan yang dimaksud kemudian disebut Tribuana/Triloka, yakni: (1) alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindra); (2) alam skala niskala (alam terindra tapi juga takterindra); (3) alam skala (alam wedag dunia ini). Manusia dapat bergerak ke tiga alam meta kosmos tadi lewat skala niskala, yakni lewat kekuasan perantara shaman atau pawang, dan lewat kesenian (Dharsono (2004: 202-203) dalam Dharsono (Soni Kartika). 2011: 5). Bagaimana dengan Minangkabau?
Di Minangkabau; pemikiran filsafat (mistik) dapat djumpai ada kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam sekste-sekte ajaran tarekat yang mengamalkan ajaran tasauf. Kelompok ini mendapat tantangan dari masyarakat Islam modernis dan menyebabkan terjadi konflik dan perang saudara di Minangkabau. Karena menurut paham modernis; pengamalan ajaran Islam moder tasauf telah melenceng dari ajaran Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Namun demikian, sebagai bagian dari filsafat Nusantara, kiranya tasauf (mistik) yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau perlu juga dibicarakan.
Di Minangkabau; beberapa sekte keagamaan menjadikan “music” –syair-- dan zikir menjadi bagian dari sistem “peribadatan”; mengamalkan ajaran tasauf untuk menempuh perjalan suci –spiritual--  menunju sang Khaliq; mencapai kesempurnaan. Dalam konteks itu, kita berbicara tentang seni dan religi atau kepentingan keagamaan. Tentunya persoalan ini  menarik untuk dibicarakan dari segi filsafat; filsafat Barat --modern dan filsafat Nusantara. Menurut Dharsono (2010); perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani; philosophia dan berarti cinta kearifan (The Love of Wisdom). Di Jawa, “pengetahuan” (filsafat) merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan”; cinta kesempurnaan (The Love of perfection), apabila memakai analogi Philoshopia Yunani (Dharsono (Soni Kartika), 2010: 4).
Dalam falsafah –filosofi-- adat –kebudayaan-- Minangkabau; konsep kesempurnaan itu juga berorientasi pada kebenaran dan kekuasaan; kebenaran itu dibangun secara bertingkat, baik dari pandangan adat maupun dari pandangan keagamaan. Menurut Mochtar Naim (2002) mengatakan bahwa --pandangan adat, kesempurnaan itu (dalam arti kebenaran) tercermin dalam falsafah adatnya, yaitu:
Kamanakan barajo kamamak,
mamak barajo ka pangulu,
pangulu barajo kamumpakaik,
mumpakaik barajo ka nan bana,
nan bana badiri sandirinyo.

Nan Bana nan berdirii sendiri itu mempunyai kekuatan spiritual yang penggenggam utamanya secara absolut tida lain adalah Allah; al-Haqq, yang ditangan-Nya terletak kebenaran yang absolut itu (Mochtar Naim, 2002:  7). Konsep pemikiran itu muncul berdasarkan falsafah (filosofi-filsafat) adat alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Jadi di Minangkabau, antara kebenaran dan kekuasan itu berdampingan dan bertingkat. Namun kebenaran dalam tataran pemikiran manusia diletakan ka nan bana (ke yang benar); yang benar diaksud di sini hanyalah terbatas pada pemikiran manusia; sifatnya relatif.
Terkait dengan kebenaran sebagaimana dimaksud di atas, Sidi Gazalba (1974) mengatakan bahwa hukum alam berasal dari Tuhan. Hukum Islam juga berasal dari Tuhan. Karena itu keduanya disebut ”sunatullah”. Tingkat dan kebenarannya sama. Adat Minang mengambil alam sebagai guru. Sebab itulah klausul-klausul adat yang berasaskan kebenaran alam dapat mencapai setingkat dengan apa yang diajarkan Islam. Di samping segi pertentangan, asas kebenaran alam inilah yang mempertautkan segi-segi adat dengan Islam, yang membawa kepada penyesuaian (Sidi Gazalba, 1974: 12). Namun demikian, filsafat Islam di Minangkabau juga diwarnai oleh filsafat religius-mistik dengan konsep tasaufnya.
Konsep tasauf (ajaran mistik) di Minangabau dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) tasauf dengan konsep wildutul wujud dan; (2) tasauf dengan konsep wildatul suhud. Tasauf dengan konsep wildatul wujud sama dengan konsep manunggaling kaula gusti; Tuhan dengan alam semseta dan manusia merupakan satu kesatuan, seperti dikatakan Dharsono (2010) bahwa bagi filsafat Jawa, manusia adalah bagian dari hubungan yang tak dapat dipisahkan antara jagat kecil (mikrokosmos), jagat besar (makrokosmos) dan Tuhan. Demikian pula dalam mempergunakan kodrat kemampuannya selalu diusahakan kesatuan cipta-rasa-karsa (Dharsono. 2010: 5). Semenatara kosep filsafat wildatul suhud pada prinsipnya antara Tuhan dan ciptaannya tidak sama, karena esensinya berbeda; tidak mungkin terjadi konsep manunggaling kaulo gusti, walapun dalam sifat-sifat manusia juga ditemui sifat Tuhan. Secara religius dikatakan sebagai sifat ma’ani, yaitu tujuh sifat Tuhan yang ada pada manusia.
Konsep filosofi yang berkaitan dengan tasauf wildatul wujud; tentunya juga filsafat Jawa seperti dikatakan Dharsono (2010) di atas; secara filosofis dapat dajadikan dasar untuk menjelaskan persoalan yang berbeda antara filsafat Nusantara --Jawa dan Minangkabau dalam konteks religi; apa lagi bila dihubugkan dengan konteks kebudayaan dan seni. Walapun secara mendasar apa yang dikatakan Sidi Gazalba pada bagian sebelumnya mengatakan bahwa hukum alam berasal dari Tuhan. Hukum Islam juga berasal dari Tuhan. Karena itu keduanya disebut ”sunatullah”. Tingkat dan kebenarannya sama. Tapi dengan prinsip; antara Tuhan dengan ciptaannya tidak sama.
Filsafat Nusantara --Jawa, Minangkabau mempunyai dasar filosofi yang sama dari aspek religi; terutama dari sisi tasauf (filsafat reliusnya); baca wildatul wujud. Berbeda denngan filsafat Barat --modern, seperti dijelaskan Dharsono; dimana cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya, sehingga menjadi jarak atau distansi antara manusia dan lingkungannya. Kebudayaan Barat --modern mengidentifikasikan Aku (ego) manusia dengan ciptaannya (ratio--akal); bahwa filsafat Barat --modern menggambarkan manusia sebagai: manusia – lepas – hubungan. Bilamana Socrates menyebut manusia sebagai animal rationale. Fisfat Timur umumnya beranggapan bahwa di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Dharsono. 2010. 6).
Menariknya peroalan ini; dengan kasus budaya musikal talempong jinjiang di Minangkabau, bisa didekati melalui dua pendekatan filsafat, yaitu filsafat Nusantara (Minangkabau) dan Filsafat Barat --modern. Kebudayaan Minangakabu itu bersifat  dialektis-dikotomis; antara adat Minangkabau yang matrilineal dan agama Islam yang patrilineal dapat hudup berdampingan; filosofi keduanya tentu juga berbeda. Terkait dengan persoalan dialektika-dikotomis itu, Suryadi (1995) menjelaskan bahwa prilaku hidup dan konsep berfikir orang Minangkabau yang bersifat dialektis itu sebagai produk dari persitegangan antara dua sistem. Kelompok masyarakat yang tata cara hidupnya terkonsepsi berdasarkan gabungan dua sistem yang bertentangan, jelas akan memunculkan suatu dialektika yang diwujudkan dalam prilaku dan konsep berfikir mereka (Suryadi, 1995. 21).
Karena dilatarbelakangi oleh filosofi yang berbeda; kebudayaan dan tentunya juga  seni di Minangkabau, secara filosofi dipisahkan oleh garis demarkasi antara kesenian adat dan kesenian agama. Meskipun Islam masuk dan berpengaruh luas di Minangkabau, unsur adat tetap sulit untuk dileburkan dalam nilai-nilai Islam, bahkan dalam beberapa segi terdapat paradok antara sistem sosial Minangkabau dan sistem sosial dalam ajaran Islam. Salah satu perbedaan yang menjolok adalah garis matrilineal dalam adat Minangkabau dan garis patrilineal dalam Islam. Menurut Suryadi garis sejarah masuknya Islam ke Minangkabau menggambarkan kepada kita betapa bahwa kedua sistem itu pada mulanya memang tidak ingin hidup berdampingan, tapi lebih dikatakan ingin saling meniadakan. Perang Padri (1821-1837) adalah salah satu gejala dari jejak sejarah penuh darah yang menggambarkan betapa kerasnya pertentangan antara kedua sistem ini (Suryadi. 1995: 21). Garis pertentangan itu terus berlanjut, misalnya pertentangan kaum tua dan kaum muda pada masa kemudian. Pada masa sekarang di daerah-daerah pedesaan masih bisa diamati bahwa pertentangan antara kaum tua dan kaum muda tetap ada, walapun dalam intensitasnya yang paling rendah.
Sebagai bagian dari kebudayaan musikal, talempong jinjiang juga mempunyai nada-nada dan juga tangga nada sebagai sebuah sistem. Sebagai sebuah tangga nada; tentunnya ia mempunyai urutan nada yang tersusun dari nada yang paling rendah sampai pada nada yang paling tinggi. Dari pandangan filosofi--falsafah adat Minangkabau; urutan nada-nada talempong yang bertingkat itu, bisa dianalogikan seperti apa yang dikatakan Mocthar Naim; kesempurnaan dalam artian kebenaran yang tersusun secara bertingkat. Demikian pula dari pandangan filsafat Jawa seperti dikemukakan Dharsono pada bagian awal tulisan ini, dapat dipahami sebagai ngundi kasampurnaan; menuju kesempurnaan. Dari segi filsafat adat Minangkabau; tentunya ini menarik untuk diungkapkan. Karena urutan tangga nada talempong itu dapat dikatakan sebagai awal untuk lahirnya berbagai repertoar (lagu/gua) talempong yang dibentuk melalui cipta, rasa dan karsa. Dari pandangan filsafat, baik filsafat Nusantara  (Minangkabau-Jawa) tentunya menarik diungkapkan.
Bertolak dari kesatuan wujud cipta, rasa dan karsa adalah mengalami sebuah proses untuk mencapai kasampurnan (kesempurnaan). Talempong jinjiang dalam melahirkan kesempurnaan itu juga mempunyai tiga kesatuan wujud dalam membetuk sebuh lagu sebagai sebuah ciptaan yang dikatakan sempurna, yaitu pambao (pembawa; yang mengawali), paningkah (peningkah) dan palalu atau panyudahi (yang mengakhiri). Ketiganya mempunyai peran masing-masing dalam membentuk sebuah lagu; ketiganya merupakan sebuah sistem menuju kesempurnaan; sesuai dengan latar belakang filosofi adatnya yang mencerminkan budaya konflik, basilang kayu dalam tungku di sinan api mangko iduik (bersilang kayu dalam tungku di sana api bisa hidup); kehidupan itu adalah simbol kesempurnaan.
Demikian pula dalam konteks yang lebih luas; talempong sebagai produk budaya, masyarakat dan kepemimpinan, juga mencerminkan sebuah sistem yang saling berkaitan. Di Minangkabau; sistem kepemimpinan juga dikenal dengan tali tigo sapilin dan tunggku nan tigo sajarangan (tali tiga sepilin dan tungku nan tiga sejerangan). Ketiga posisi kepemimpnan Minangkabau itu dikenal dengan urang tigo jinih (orang tiga jenis), yaitu: (1) Niniak Mamak (golongan kaum adat); (2) Alim Ulama (golongan agama), dan (3) adalah cadiak pandai (cerdik pandai/ cendikiawan, kaum intekstual/ berpendidikan). Ketiganya merupakan satu kesatuan untuk berkiprah di bidang masing-masing dan menjaga keseimbangan; hasil akhirnya adalah kesempurnaan. Tentunya peroalan ini dari segi filsafat dan hubungannya dengan talempong jinjiang menarik untuk diungkapkan.

B. Pendekatan yang Digunakan
Untuk membantu menjawab atau menyelesaikan masalah yang telah dikemukakan, diperlukan pemahaman berbagai konsep yang ada kaitannya dengan topik penulisan ini. Sumandiyo Hadi (2000) mengatakan bahwa konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena sosial yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian atau peristiwa, keadaan, kelompok maupun individu tertentu. Melalui berbagai konsep diharapkan akan menyederhanakan pemikiran untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu sama lain (Sumandiyo Hadi. 2000:  17). Konsep-konsep yang muncul sehubungan dengan topik pembicaraan ini adalah: Pendekatan Filsafat, Seni, Kebudayaan Musikal Talempong Jinjiang, Minangkabau.
1.      Pendekatan filsafat adalah sebuah pendekatan dalam sebuah proses untuk mencari kebenaran atau usaha untuk mencari kebenaran. Menurut Dharsono (2007); filsafat mendasarkan diri atas penalaran secara logika dengan sintesa hal-hal yang telah kita temui serta analisis hal-hal yang belum diketahui; bahwa filsafat adalah seni bertannya diri: usaha manusia untuk memperoleh pengertian dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan mempergunakan kodrat kemampuannya (Dharsono. 2007: 108-109).
2.      Seni, berasal dari kata latin “ars” yang berarti keahlian. Kehalian yang dimaksud adalah keahlian mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi penciptaan benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah (Thomas B. Ataladjar, 1990: 525).  Dalam Ensiklopedi Indonesia dipetik bahwa definisi seni, yaitu penjelamaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komonikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Ensiklopedi Indonesia: 3080-3081).
3.      Menurut Faisal Ismail (1977) kata relegie (bahasa Belanda), religion (bahasa Inggris) keduanya  berasal dari bahasa induk dari kedua bahsa tersebut, yaitu bahasa Latin “religare” (Faisal Ismail. 1977: 28);  dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, lazimnya disebut religi dan sifat keagamaannya menjadi religius. Persoalan religius menyangkut masalah keyakinan; menurut Tomas Aquinas dalam Ernst Cassirer (1987), kebenaran religius bersifat suprarasional dan supranatural, namun tak bisa disebut “irasional”. Hanya dengan rasio saja kita tak dapat menembus misteri iman, melainkan dilengkapi dan menyempurnakan rasio (Ernst Cassirer. 1987: 109). Dalam konteks yang demikian; religi yang berasal dari kata “religare” menurut Cicero dalam H.M. Syafaat bahwa religare berarti melakukan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Sementara itu, Lactansius  dalam Syafaat mengartikan kata religare sebagai “ mengikat menjadi satu dalam suatu persatuan bersama (H.M. Syafaat. 1974: 9). Dalam pengertian yang demikian; menurut pengertian dalam bahasa Indonesia, orientasinya tidak lain dan tidak bukan menunjuk pada sistem peribadatan tertentu yang disebut agama, dan dari pandangan antropologi lebih sering disebut religi.
4.      Kebudayaan; menurut Nanang Rizali (2000) dalam Dharsono (2007) mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa  sangskerta, budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti ‘budi’ atau akal. Kata lain untuk kata ‘budi’ adalah jiwa yang di dalamnya terkandung dorongan hidup yang mendasar, perasaan, pikiran, kemauan dan fantasi. Dengan demikian, budi, akal, jiwa, roh adalah dasar dari segala kehidupan budaya manusia, kata budaya dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan, yang artinya sama dengan cipta, rasa dan karsa; bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat (Dharsono. 2007: 24). Musikal yang berasal dari kata musik merupakan produk dari kebudayaan.
5.      Talempong dalam masyarakat Minangkabau mempunyai tiga pengertian, yaitu (1) talempong sebagai alat musik; (2) talempong sebagai genre kesenian, dan (3) talempong sebagai musik.  Adam menyatakan; sebagai alat musik, talempong terdiri dari beberapa jenis, yaitu, telempong kayu, talempong batu, talempong  batuang (pen: jenis babmbu), talempong jao (pen: Jawa), talempong Unggan, dan talempong ( Boestanuel Arifin Adam, 1986/1987: 9-23).
Talempong yang dimaksud dalam penulisan ini adalah talempong yang termasuk ke dalam jenis terakhir, yaitu telempong jnjiang, adalah seperangkat alat musik pukul yang terbuat dari campuran logam dan perunggu (Bronnze) dan kuningan (Cuprum/cu), dan dimaikan oleh 3 (tiga) orang pemain. Masing-masing pemain memegang (dalam artian menjinjing; berasal dari kata jinjing-jinjiang) dua buah talempong dengan tangan kiri, dan dipukul dengan tangan kanan, atau sebaliknya, menggunakan alat pukul yang terbuat dari kayu; ia adalah bagian dari kebudayaan musikal masyarakat Minangkabau.
6.      Minangkabau mengandung pengertian kebudayaan di samping makna geografis. Dalam pengertian geografis, Minangkabau merupakan wilayah atau daerah yang terdiri atas kesatuan-kesatuan geografis, politik-ekonomis dan kultur-historis, lazim disebut, Pesisir, Darek, dan Rantau. Dalam pengertian kebudayaan, berarti ada suku bangsa Minangkabau, kebudayaan Minangkabau, dan kesenian Minangkabau. (MD. Mansoer: 1970: 2).Kesenian Minangkabau dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) seni “adat” dan : (2) seni religius. Seni yang tergolong kelompok seni adat adalah seni yang bersifat ke-Minangkabua-an; di antaranya talempong jinjiang. Seni-seni yang masuk ke dalam kelompok religius adalah seni-seni agamais modern (gaya Timut Tengah) atau seni-seni yang berkaitan dengan ajaran tasauf (mistik).

C. Filsafat Nusantara --Minangkabau: Latar Belakang Pembentukannya
Membicaraan filsafat Nusantara tidak bisa dipisahan dari pengaruh agama-gama besar, seperti Islam, Kriten, Hindu, dan Budha. Islam sebagai agama mayoritas dengan segala sekte keagamaannya terhimpun dalam berbagai gerakan tarekat (sufi) mengamalkan ajaran tasauf. Pada tingkat tertentu; corak kehiduan beragama seperti itu, tidak jarang terjadi perbedaan pendapat dalam praktek-praktek menjalankan ibadah; lantaran mazhap yang dianut mempunyai sejarah dan filosofi yang berbeda, dan bukan tidak mungkin pada tataran kebudayaan; tentunya juga seni dengan berbagai latar belakang budaya masih merekam jejak-jejak filosofi yang melatarbelakanginya.
Terkait dengan gerakan tarekat; Radjasa Mutasim (1988) menyatakan bahwa gerakan tarekat sebagai praktek pengamalan ajaran tasauf mulai muncul sekitar abad ke- 13, di tengah kemunduran politik dunia Islam terhdap dunia Barat dan Mongolia. Hal ini mendorong transpormasi spiritual melalui tarekat. Mereka tenggelam dalam keasikan spiritual dan keakhiratan selama enam abad. Kemunduran tersebut dipandang sebagai penyebab dari wataknya yang cenderung mengikari dunia, merusak semangat intelektual dan rasionalisme seperti diingatkan oleh kaum pembaharu, yang salah satu tokohnya adalah Muhamad Abduh dari Mesir (Radjasa Mutasim. 1988: 10-11).
 Berkaitan dengan bentuk pengamalan ajaran tarekat seperti dikatakan di atas, menurut Abdul Qadir Djailani (1996) mempunyai pandangan yang bercorak panteistis. Pandangan panteistis merupakan hasil konsepsi filsafat monisme, yaitu konsepsi yang berpendapat bahwa Tuhan dan Alam adalah satu (Abdul Qadir Djailani. 1996: 9). Sedangkan monoisme dan panteisme secara historis merupakan esensi dari ajaran agama Hindu yang disebut dengan jelas dalam reg weda bahwa Tuhan menjelma pada berbagi bentuk kehidupan di bumi dan di langit. Dan tujuan akhir dari agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman dan brahman –Krisna dalam dalam kepercayaan Hindu adalah anak Tuhan (Jailani. 1996: 9).[1] Pada sisi lain, teks tertua Perjanjian Baru (Injil), kitab suci Agama Kristen dikatakan sebagai berikut:
...seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani, oleh karenanya pandangan Yunani—Hindu pun sangat dominan dalam ajaran kristen. Ajaran Trinitas dalam agama Kristen pada hakikatnya sama dengan ajaran trimurti dalam agama Hindu. Kelahiran Yesus kristus sebagai anak Tuhan secara esensial sama dengan kelahiran Krisna yang juga dianggap anak Tuhan oleh agama Hindu. Ajaran tasauf (mistik) dengan filsafat monisme dan pantaiemenya dimiliki oleh Hindu dan dianut serta dikembangkan oleh Kristen, khusunya mulai periode neoplatonisme dengan tokoh Plotinus. Dengan teori emanasinya (pencerhan/al-fa’id), Plotinus benar-benar menjadi penganut monisme dan pantaisme sejati. Teori emanasi (al-fa’id) kemudian dianut oleh para filosof muslim di antaranya al-farabi, dan juga oleh sufi Muslim seperti al-Halajj dan Ibnu Arabi. Dengan demikian, ajaran tasauf yang dianut oleh umat Islam sebenarnya berasal dari ajaran Hindu yang secara tidaklangsung melalui filosof serta mistikus Yunani dan Kristen, atau melalui penganut agama Persia (Jailanai. 1996: 10).

Berkaitan dengan kutipan di atas dapat dipahami bahwa praktek keagamaan yang dilakukan para pengikut tasauf (sufi), dari segi sejarah bertalian dengan ajaran Hindu dan Kristen. Inilah yang dikatakan Abdul Qadir Djailani (1996) bahwa filsafat monisme dengan teori emansasi (al-fa’id) yang dianut kaum Syi’ah dan tasauf ternayata berasal dari Kristen sebagaimana tercermin dalam teori Plotinus Trinity (Tuhan ------ akal ------- jiwa) (Djailani. 1996: 35).[2]
Bertolak dari uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa praktek-praktek tarekat dari segi kesejarahan berkaitan dengan ajaran agama Hindu dan Kristen. Seperti dikatakan Abdul Qadir Djailani (1996) bahwa filsafat Plotinus yang memandang pengenalan (ma’rifah) bisa dipahami lewat penyaksian langsung dalam kondisi lepas jiwa dan rasa, mempunyai dampak terhadap tasauf. Ini diakui intelektual muslim bahwa pengaruh pemikiran Kristen, Yunani, dan Hindu telah turut mewarnai tasauf Islam (Djailani. 1996: 23). Terkait dengan apa yang dikatakan Djailani; Simuh (1996)  memberi alasan bahwa semenjak Islam mulai ke luar dari zazirah Arab –Mesir, Siria, Palestina, Persia dan lain-lain, ia dihadapkan dengan berbagai macam peradababan dan kebudayaan Yunani. Di samping itu, ajaran-ajaran mistik, baik yang bersumber dari Hindu-Budha, Majusi, Kristen maupun mistik Neo-Platonis telah lama mengakar pada wilayah tersebut (Simuh.1996: 69). Kelihatannya Simuh memberikan argumentasi; ketika Islam ke luar dari Jazirah Arab, ia melewati berbagai peradaban dan kebudayaan; bukan tidak mungkin ketika melintasi dan melewati peradaban dan kebudayaan itu; terjadi akulturasi atau pembauran. Dengan analogi bahwa ketika mata air keluar dari hulunya pasti bersih dari segala kotoran; namun semakin jauh perjalannya menunju laut, ia telah bergabung dengan sumber dan mata air lainnya yang membawa berbagai sampah dan kotoran.
Terkait dengan analisa yang dikemukakan Simuh bahwa di Nusantara dan juga termasuk di Minangkabau –kehidupan bergama (Islam)—tidak lepas dari pengaruh ajaran mistik, baik yang diwarnai oleh Hindu-Budaha yang tercermin dalam berbagai ajaran tarekat yang sudah berakulturasi dengan ajaran-ajaran mistik seperti dimaksud. Dalam kondisi seperti demikian berdampak terhadap berbagai aktivitas budaya --seni dalam masyarakat Nusantara; tentunya juga Minangkabau.
Pengaruh jaran Hindu dan Kristen sebagaimana telah dibicarakan di atas, hampir sama paham wihdat’ul wujud; bersatunya kembali manusia dengan Tuhan. Untuk mencapi kesatuan wujud, biasanya dilakukan denga metode zikir; saat kondisi jiwa lepas landas--mereka mengalami efek psikologis yang luar biasa –ekstase, alias tidak sadarkan diri. Kondisi seperti itulah yang diyakini sebagai tingkat wujud tertinggi dan manyatunya antara manusia dengan Tuhan secara kerohanian.
Konsep wildatul wujud seperti demikian dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti dalam pertujukan dabuih (debus) yang mempertontonkan kekebalan dari senjata tajam atau benda-benda tajam lainnya. Kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya kita kembalikan kepada teori emanasi (pancaran) yang digagas Plotinus; konsep bersatunya Atman dan Brahman, dan konsep wilda’tul wujud. Dimana dalam ketiga teori tersebut dapat mengatarkan mansia pada tingkat fana (menyatunya kembali antara manusia dan Tuhan); dimana secara hakiki (hakikad) yang namanya tubuh itu tidak ada lagi, karena sudah bersatu dengan Tuhan; sementara yang tinggal hanyalah roh. Logikanya, roh tidak dapat disentuh oleh apapun, termasuk di bakar, ditusuk, dengan benda tajam, dipukul, dan lain-lain.
Logika seperti demikian kiranya dapat diterima oleh akal, namun yang menjadi persoalan adalah: bagaimana caranya memisahkan antara jiwa dan raga? Tampaknya masing-masing agama mempunyai cara yang berbeda-beda. Dan secara ekstrim dalam sejarah ketarikatan, banyak yang menggunakan morfin, minuman keras –maksudnya yang mengandung alkohol—dipergunakan untuk mencapai tingkat kehilangan kesadaran. Karena, dengan kondisi seperti itu, secara psikologis dapat terjadi pemisahan antar “jiwa dengan raga”, walapun peristiwa seperti itu seseorang tidak dikatakan mati atau meninggal. Yang jelas jiwa mereka tidak dapat lagi mengendalikan tubuh, dan dianggap sudah menyatu dengan Yang Maha Kuasa.
Filsafat keagamaan seperti disebutkan di atas, turut mempengaruhi prilaku budaya; dan memberikan gambaran bahwa filsafat Timur --Nusantara berbeda dengan fislsafat Barat--modern. Seperti dikatakan Dharsono (2007) bahwa hal ini berlainan dengan filsafat Barat, dimana cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya, sehingga menjadi jarak atau distansi antara manusia dan lingkungannya. Kebudayaan Barat –modern mengidentivikasikan Aku (ego) manusia dengan ciptaan-Nya (ratio-akal). Maka dapat dikatakan bahwa Filsafat Barat --modern menggambarkan manusia sebagai: manusia – lepas – hubungan. Bilamana Socrates menyebut sebagai animal rational. Filsafat Timur --Nusantara umumnya beranggapan bahwa di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Dharsono (Soni Kartika). 2007: 107). Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa Filsafat Barat -- modern terlepas dari nilai-nilai ke-Tuhan-nan, pada hal dari aspek sejarah seperti tergambar dalam ajaran trinitasnya; sama filsafat Timur --Nusantara, seperti dimaksud Dharsono pada bagian sebelumnya.
Terkait dengan apa yang dikatakan Dharsono; Agus Sachari (2002) mengatakan bahwa ketika budaya Barat mengalami pencerahan, sejalan dengan reformasi dalam bidang etika dan keagamaan, terdapat pula pencerahan dalam filsafat umum. Kant menawarkan agar prinsip-prinsip estetika dapat dipahami sebagai ilmu pengetahuan dengan prinsip logika. Masa berikutnya –sesudah Kant—dikenal sebagai era estetika positivis; yang berorientasi pada pedekatan keilmuan. Kemudian, Agus Komte, Russel dkk melahirkan estetika modernisme di awal Abad ke-20 yang menandakan postivisme yang mengandalkan Aku (ego) mulai masuk ke ranah filsafat (Agus Sachari. 2002: 6-7). Sementara itu, flsafat Timur –Nusantara tetap bertahan dengan prinsip dekat dengan alam dan mengutamakan rasa; filsafat Timur –Nusantara lebih menekankan aspek intuisi daripada akal. Pada masyarakat Timur --Nusantara, kepribadian seseorang bukanlah terletak pada intelektualnya, melainkan dalam hati, yang mempersatukan akal budi, intuisi, kecerdasan dan perasaan.
Bertolak dari apa yang telah dibicarakan pada bagian ini, dapat dikatakan bahwa terbentuknya filsafat Timur –Nusantara; termasuk Minangkabau adalah bersumber dari pegaruh agama-agama besar, seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Keempat agama besar itu mempunyai simplikasi yang berbeda-beda di Nunsantara; untuk budaya Jawa, terutama pengaruh Hindu dan Islam tasauf  muncul dalam bentuk singkretisme; dalam masyarakat Bali, pengaruh Hindu sangat kental sekali. Di daerah-daerah Indonesia bagian Timur, ada pengaruh Kriten, Islam dan Hindu. Di Minangkabau dipengaruhi oleh Islam tasauf –wildatul wujud dan wildatul suhud; di samping filosofi yang bersumber dari adat mereka sendiri.

D. SENI dan RELIGI, SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT

Menurut I Made Bandem dalam Y. Sumandiyo Hadi memberikan pandangan bahwa seni dalam wilayah yang sangat luas, memungkinkannya menjadi bahasa ekspresi yang “tanpa batas”; sementara agama (religi) dengan sendirinya menunjuk pada wilayah privat yang berwatak religius. Namun demikian, keduanya tidak serta merta menjadi dua kubu yang saling bertentangan atau berlawanan, bahkan sebaliknya dapat bersinergi, dan menjadi kekuatan baru menjadi seni agamais (religius) (Y. Sumandiyo Hadi.  2000: XIX).
Di Minangkabau, seni agmais dapat dijumpai dalam aktivitas keagamaan yang menjalan ajaran tasauf (mistik), seperti dalam ratik saman (zikir saman) dan upacara basapa (syafar) dengan membaca dan menyanyikan formula zikir (menyebut nama Allah S.W.T.) dengan suara keras di bawah bimbingan seorang syeikh yang dikombinasikan dengan syair-syair yang dinyanyikan dalam gaya responsorial. Dalam agama Kristen, antara seni dan agama (religi) telah terjalin hubungan yang erat dalam peribadatan. Menurut Kartodirdjo (1986); sejak abad pertengahan hubungan seni dan agama Katolik sangat kuat. Seni tidak hanya menciptakan keindahan saja, tetapi juga meyakinkan orang pada kebenaran Injil (Sartono Kartodirdjo. 986: 23). Di kalangan Islam modernis, praktek keagamaan seperti terdapat dalam aktivitas ratik saman dipandang sebagai perbuatan “bid’ah dan menyesatkan.” Dalam pandangan kaum ini, seni dipandang sebagai kebudayaan dan bukan bagian dari sistem peribadatan.
Seni dalam agama (religi) adalah agama-agama yang mempraktekkan ajaran-ajaran tasauf (mistik). Menurut Reza Arasteh (1972) dalam Kuntowijoyo (1987) menjelaskan bahwa seni dalam agama (religi) kita  jumpai dalam ajaran mistik. Muhammad Jalal al-Din atau Maulana Rumi (1207-1273 A.D.) terkenal dengan ajaran yang jelas menggunakan pengucapan artistik untuk keperluan ritual. Jalaludin Rumi mendirikan kelompok sama’, yaitu menyelenggarakan tarian yang ekpresif, nyanyi dan musik mampu mengalihkan perasaan-perasaan spontan menjadi media artistik. Dikatakan bahwa sebagai ganti dari sembahyang dan upacara agama, sama’ telah menjadi agama bagi Rumi (Kuntowijoyo. 1987: 56).
Menurut Al-Gazali dalam Gilbert Rouget (1985), sama’ tidak mempunyai padanan dalam bahasa; ia menunjuk kepada hal yang sangat khusus pada Sufisme yang merupakan upacara dengan melibatkan umat, nyanyian dan ‘tarian’ yang menyatukan orang-orang menyembah Tuhan dan melakukan kesurupan. Pada bagian lain juga dikatakan bahwa sama’ merupakan bentuk “konser spiritual”, seperti yang disebutkan  oleh Mokri, dimana musik (nyanyi) dilantunkan atau oleh paduan suara. Konser dilakukan di bawah arahan seorang pemimpin (syekh) yang memimpin upacara dan sekaligus menjadi direktur spiritual (Gilbert Rouget. 1985: 258-266).
“Konser spiritual” sebagaimana dimaksud Al-Gazali juga ada kemiripan dengan wirid dalam pengamalan ajaran tasauf dalam masyarakat Minangkabau, seperti dalam aktivitas ratik saman (zikir saman) dan dalam ritual basapa (syafar) di makam keramat Syeikh Burhanuddin dengan tarekat Syatariyahnya. Elemen estetis atau seni dalam aktivitas ratik saman dan basapa dapat ditemukan dalam bacaan do’a salawat; dan pada saat pembacaan syair-syair (puisi) religius dan pembacaan zikir. Jadi, agama yang dibicarakan dalam konteks ini adalah agama dalam konteks religius dan bukan dalam konteks Din Islam (agama Islam). Tujuan konser spiritual itu dilakukan untuk melatih diri dan mensucikan diri untuk menempuh perjalanan suci menuju Tuhan yang dilakukan melalui keakraban. Sayyed Hossein Nasr (1993) dalam bukunya Spiritualitas dan Seni Islam menjelaskan bahwa sama’ dalam aspek inkantori (nyanyian) maupun tarian merupakan seni suci essoteris yang berusaha memungkinkan manusia untuk merasakan pengalaman spiritual dan berintegrasi ke dalam pusat utama (Sayyed Hossein Nasr. 1993: 94).
Bagi kaum sufi (pengikut ajaran tasauf) bahwa pusat utama sebagaimana dimaksud di atas itu adalah yang menguasai sekalian Alam – Tuhan. Artinya, untuk bisa masuk ke dalam pusat utama itu, seseorang harus melalui tujuh maqam (tingkat) spiritual yang berbeda-beda. Rumi dalam Hussein Nasr (1993) menganalogikan tujuh tingkatan perjalanan spiritual itu dikisahkan dalam bentuk perjalanan sekelompok burung. Mereka melintasi 7 (tujuh) lembah pegunungan kosmik Qaf yang pada puncaknya  terletak Punguasa Angkasa. Tujuh lembah yang membawa mereka ke puncak kehampaan itu adalah puncak: (1) pencarian (thalab); (2) cinta (‘isyq); (3) gnosis (magrifah); (4) kepuasan hati (istighna); (5) keesaan (tauhid); (6) kekaguman atau kebingungan (hayrat); (7) kemiskinan (faqr)dan lebur (fana ) (Hussein Nasr.1993: 116). Artinya, untuk dapat bertemu dan bersatu dengan Sang Pecipta, seseorang harus menempuh atau melalui 7 (tujuh) tahapan yang penuh dengan rintangan; di Minangkabau, konsep ini dinamakan martabat tujuh atau ilmu martabat nan tujuh.
Perjalanan spiritual sebagaimana dikisahkan –diibaratkan—dalam perjalanan sekelompok burung, juga berkembang dalam dalam masyarakat Minangkabau; terutama bagi pengikut ajaran tasauf; tentunya dalam bentuk yang berbda. Peningkatan kualitas spiritual yang mereka lakukan  untuk mendekatkan diri kepada Allah. Metode spiritual itu mereka lakukan dengan sentuhan seni (elemen estetis);  bahwa seni vocal yang mereka nyanyikan dan juga pembacaan zikir mempunyai fungsi dalam meningkatkan spiritualitas, menuju dunia transenden yang disebut alam ruh. Dalam konteks demikian, Hussein Nasr (1993) menjelaskan bahwa manfaat spiritual dari bentuk nyanyian (musik) hanya dapat diperoleh melalui penyempurnaan jiwa dan pembunuhan hawa nafsu. Hanya cara itulah yang dapat mempersiapkannya menunju dunia transenden (roh), melalui bantuan musik (nyanyian) yang bersifat spiritual (Hussein Nasr (1993: 186).
Terkait dengan apa yang dikatakan Husein Nasr; Abdul Muhaya (2003) mengatakan bahwa bagi kaum sufi (tasauf), musik memiliki fungsi yang beragam: membawa jiwa ke alam realitas, menyejukan hati, mengeluarkan permata Ilahiah yang tersimpan dalam relung hati, membersihkan hati dan meningkatkan kerinduan serta kecintaan kepada Allah atau sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (Abdul Muhaya. 2003: 11).
Dalam kondisi demikian, pada dasarnya kita berbicara dalam ranah seni dan agama. Herbet Read dalam Art and Society dalam Kuntowijoyo (1987) mengatakan bahwa dorongan estetis itu inheren pada manusia, dan masalah hubungan seni dan agama terletak dalam pertanyaan seberapa jauh suatu agama mengembangkan atau menghambat dorongan itu (Kuntowijoyo. 1987: 53). Selanjutnya Kontowijoyo (1987) mengatakan bahwa; meskipun demikian, agama dan seni secara empiris mempunyai hubungan yang erat pada mulanya. Agama mempunyai unsur ritual, emosional, kepercayaan dan rasionalisasi. Dengan dua unsur pertama, menurut Red, agama dan seni saling berkaitan, sedangkan dalam unsur yang kedua dan ketiga mulai terjadi pemisahan antara agama dan seni. Agama-agama primitif mencampurkan seni dan agama, sedangkan agama-agama besar dunia mempunyai sikap yang berbeda.[3]
Sementara itu, agama Islam (Din Islam) juga termasuk ke dalam kelompok sebagaimana dikatakan Herbet Red, terutama pada tingkatan kedua (kepercayaan dan rasionalisasi) dimana seni dan agama terjadi pemisahan. Namun kelompok-kelompok yang mengembangkan ajaran tarekat (tasauf), hubungan antara seni dan agama muncul dalam kepentingan spiritual seperti dicontohkan oleh Rumi dan pada aktivitas ratik saman (zikir saman) dan ritual basapa (syafar) di Minangkabau.
Dari pandangan tasauf (sufi); menurut Husein Nars (1993), musik (nyanyian) mempunyai peranan penting dalam meningkatkan semangat spiritualitas menuju dunia transenden (roh). Kepentingan demikian menurut pandangan sufi berfungsi mententramkan pikiran dari beban kemanusiaan (basyariyyat).  Ia merupakan stimulan untuk melihat rahasia ketuhanan (asrar-i-rabbani). Karena dalam musik terdapat ratusan ribu kegembiraan, yang salah satunya dapat membantu seseorang melintasi ribuan tahun perjalanan untuk mencapai makrifat (Husein Nars. 1993: 169). Pada bagian lain Husein Nasr (19930 menjelaskan sebagai berikut.
Musik spiritual adalah kunci pembuka khazanah Kebenaran Illahi. Para ahli ma’rifat itu bermacam-macam; sebagian mendengar dengan bantuan tingkatan spiritual (maqamat); sebagian dengan keadaan spiritual (halat); sebagian dengan penyingkapan spiritual (mukasyafat); dan sebagian lagi dengan bantuan penyaksian spiritual (musyahadat). Apabila mereka mendengar menurut tingkatan spiritual, mereka berada dalam celaan. Apabila mereka mendengar menurut keadaan spiritual, mereka tengah kembali. Apabila mereka mendengar menurut penyingkapan spiritual, mereka berada dalam persatuan (wishal); dan apabila mereka mendengar sesuai dengan penyaksian spiritual, mereka tenggelam dalam keindahan Tuhan (Husein Nars. 1993: 172 ).

Fenomena ke-arah demikian juga muncul dalam aktivitas ratik saman dan ritual basapa bahwa nyanyian –sya’ir- dan zikir mereka fungsikan untuk meningkatkan spiritualitas dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam aktivitas ratik saman dan ritual basapa, simbol konstitutif (agama-religi) dan simbol seni bersinergi dalam upaya meningkatkan semangat religiusitas untuk peningkatan spiritualitas. Itulah gambaran seni dan religi ditinjau dari pendekatan filsafat dalam masyarakat Minangkabau.

E. Kosmologi: Jawa dan Minangkabau
Dari pandangan filsafat; yang membedakan masyarakat Barat –modern dan masyarakat Timur adalah kedekatan dengan alam; mikrokosmos dan makrokosmos --kosmologi. Menurut I Kuntara Wiryamartana dalam Dharsono (2010) bahwa kosmologi adalah pandangan tata alam atau tata dunia; masyarakat Jawa menyebutnya sebagai mikro, makro, metakosmos. Mikrokosmos adalah manusia, makrokosmos adalah alam semesta, sedangkan metakosmos terdiri dari alam niskala yang tak nampak (teakterindera), alam skala-niskala yang wadaq dan tak wadaq (terindera dan tak terindera) dan alam skala, yakni alam wadaq di dunia ini (Dharsono. 2010: 9). Pandangan orang jawa dalam melihat dunia secara kosmologi –dunia atas dan dunia bawah, diapudukan dengan dunia tengah yang disebut dualisme dwitunggal. Sikap yang menggabungkan dua menjadi satu seperti itu, di lingkungan masyarakat Jawa disebut dengan singkretisme (Dharsono. 2010: 9).
Terkait dengan apa yang dikatakan Dharsono di atas tersirat bahwa hubungan mikro, makro, dan metekosmos mencerminkan cara berfikir budaya mistis Indonesia –tentunya juga dalam masyarakat Minangkabau; pandangan tentang makrokosmos, mendudukan manusia sebagai bagian dari alam semesta. Pandangan ini sama dengan falsafah orang Minangkabau; alam takambang jadi guru yang menggambarkan bahwa alam bagian dari tata kehidupan masyarakatnya; alam itulah yang menjadi guru pertama dalam merumuskan dasar-dasar hukum sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat Minangkabau; baik yang berkaitan dengan hukum perdata maupun pidana adat.
Terkait dengan kosmologi yang dibicarakan di atas; (Dharsono 2010) mengatakan bahwa pandangan tentang makro-metekosmos; dalam konsep yang kemudian disebut dengan ajaran Tribuana/Triloka, yakni: (1) alam niskala; (2) alam skala niskala; dan (3) alam skala. Menurut pandangan orang Jawa; manusia dapat bergerak ketiga alam metakosmos tadi lewat skala niskala; yakni lewat kekuasaan perantara shaman atau pawang dan lewat kesenian (Dharsono. 2010: 10). Menurut Yakob Sumarjo (2003); konsep metakosmos, selanjutnya disebut konsep mandala; adalah lingkaran yang melambangkan kesempurnaan; mandala adalah satu totalitas unsur-unsur dualitas keberadaan. Dunia atas menyatu dengan dunia Bawah melalui dunia tengah Mandala (Yakob Sumardjo. 2003: 87).
  Terkait dengan apa yang dikatakan Dharsono dan Yakob Sumardjo di atas dapat dikatakan bahwa pada tataran makrokosmos; secara filosofis pandangan masyarakat Jawa dengan Minangkabau sama, bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta ini.  Pada tataran  mikkro-metakosmos, terjadi perbedaan persepsi; walapun tidak seluruh masyarakat Minangkabau. Pada satu sisi, orang Jawa berpandangan pada konsep Mandala; dunia Atas dan dunia Bawah dapat menyatu melalui perantara shaman atau dukun dan seni. Di Minangkabau, paham ini dianut oleh para pengikut ajaran tasauf (mistik); wildatul wujud, yaitu konsepsi filsafat yang membawa ke arah bersatunya manusia dengan Sang pencita melalui tanggapan kejiwaan; ajaran ini bercorak panteisme, seperti telah dibicarakan pada bagian sebelumnya.
Untuk mencapai tingkat kesatuan wujud atau bersatunya Alam (manusia) bawah dengan alam Atas (Tuhan) dapat dipahami melalui doktrin ilmu Martabat Nan Tujuh –tujuh tahapan untuk mencapai kesempurnaan; dalam teologi Kristen melalui Plotinus dusebut dengan teori emanasi; pancaran. Dan Tujuan akhir dalam agama Hindu adalah berstunya kembali Adman dan Brahman; bisa melalui Yoga –semedi. Bagi tasauf (mistik); di Minangkabau dilakukan dengan metode zikir dan seni; ini dilakukan untuk latihan pensucian diri; jiwa yang bersihlah yang dapat mencapai tingkat berstunya kembali antara Alam bawah dengan Alam atas seperti dimaksud Dharsono dan Yakob Sumarjo.
Berbeda dengan shaman; di Minangkabau dukun tidak menjadi mendiator untuk menghubungkan mikrokosmos dengan metakosmos; artinya posisi dukun di Minangkabau tidak berada pada dunia tengah. Namun, ia –dukun—menjadi bagian tersndiri dalam kehidupan masyarakat Minangkabau; menurut pandangan agama, percaya kepada dukun adalah musrik atau dapat mempersekutukan Tuhan atau menduakan Tuhan. Relaitasnya; walapun masyarakat Minangkabau menganut agama Islam, namun tidak sedikit yang percaya kepada dukun dalam berbagai kepengtingan. Dalam persoalan perdukunan ini; orang Jawa dengan Minangkabau memperlihatkan perbedaannya. Bagi orang Jawa; dukun berfungsi sebagai perantara atau mediator antara dunia Bawah ke dunia Atas sebagaimana dimaksud Dharsono. Di Minangkabau dukun menjadi bagian tersendiri dari kehidupan masyarakatnya, dan tidak berfungsi sebagai “mediator” untuk menjembatani alam Bawah ke alam Atas seperti pandangan filsafat orang Jawa. Dalam masyarakat Minangkabau, ia –dukun—berperan sebagai perantara atau mediator untuk menghubungkan ke dunia gaib –katanya “Tuhan” untuk mengabulkan berbagai permintaan; jalan pintas.
Demikian pula dengan rumusan bilangan sacral 9 atau 8 + 1 (Ajaran Astagina) dengan delapan penjuru mata angin dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku untuk bisa menjadi pemimpin yang baik. Konsepsi ajaran Astagina itu mempunyai prinsip dasar dengan kosmologi orang Jawa seperti dikataan Dharsono (2010) sebagai berikut.
Sesuai dengan ajaran Jawa (Hindu), yaitu ajaran “Astagina” mempunya dasar prinsip dengan simbolisme kosmogoni Jawa “keblat papat kelima pancer”, yaitu termasuk di antara warna-warna primer. Warna disesuaikan dengan arah mata angin, yaitu di antara arah utama; timur, selatan, barat dan utara. Menghasilkan arah tenggara, barat daya, barat laut, dan timur laut. Warna pokok menghasilkan delapan warna campuran (Dharsono. 2010: 20).

            Ke delapan penjuru mata angin itu memancarkan empat warna dan empat warna campuran yang bersumber dari pancaran warna ditengahnya; masing-masing penjuru mata angin melambangkan  perbuatan baik sang dewa yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menjadi seorang pemimpin. Pada titik ini Dharsono (2010) mengatakan bahwa warna-warna tersebut dalam spektrum merupakan pancaran dari warna putih atau terang. Alasan inilah maka pada bagian tengah (pancer) dilambangkan tanpa warna (kosong), dalam ajaran Jawa “kosong” sebagai simbol dari Sahyang Tunggal; teologi Hindu disebut penguasa Sahyang Agung; kosong melambangkan kemutlakan Tuhan, dan kedelapan sifat-sifat baik itu –delapan dewa dinyatakan denga istilah Astabrata (Dharsono. 2010: 21-23).
            Di Minangkabau; delapan penjuru mata nagin itu juga dikenal dalam di kalangan terbatas komunitas “perdukunan”, dan digunakan dalam kepentingan yang berbeda bila dibandingkan dengan pandangan orang Jawa. Delapan penjuru mata angin itu ditempati oleh simbol-silmol yang berlawanan –kebanyakan binatang, seperti Harimau, Kucing, Elang, Ikan, Kambing, Tikus, Beringin dan laut ; simbol-simbol itu dapat dibaca sebagai hubungan makro kosmos dan miro kosmos. Masing-masing tabiat dan karakter binantang itu berhubungan dengan tingkah laku manusia di Bumi; setiap binatang mempunyai hari dan tanggal yang dihitung berdasarkan perputaran Bulan (lihat bagan berikut).
Oval: Tikus
6, 14, 22
 

                                                           
Oval: Kambing
5, 13, 21, 29Oval: Beringin
7, 15, 23                                                                       
 











            Angka-angka yang ada dalam lingkaran itu menunjuk pada perputaran hari dalam satu bulan; yang dihitung berdasarkan kalender Arab. Hitungan pertama atau tanggal 1 (satu) dimulai dari Harimau; 2 (dua) masuk pada giliran Kuncing dan seterusnya. Setiap tanggal –hari-- yang ada dalam masing-masing lingkaran itu, berhubugan dengan alam manusia --menunjukan karakter dan tabiat manusia; atau masing-masing hari yang jatuh pada tanggal yang berada di bawah lambang, memberi pengaruh terhadap aktivitas  kehidupan manusia.
Pergeseran hari dalam hitungan bulan seperti tertuang dalam delapan penjuru mata angin di atas dapat dijadikan kajian dan mempredikasi untuk berbagai kepentingan manusia. Hitungan bulan yang dimaksud adalah perhitungan  berdasarkan kalender bulan Arab; sama dengan menentukan satu Muharam dan satu Sywal; bukan berdasarkan perhitungan perputaran matahari –hitungan Masehi. Pergesran hari pada kalender Arab terjadi pada pukul 12 siang, semantara pergeseran hari pada bulan masehi terjadi pada pukul 24.00.
            Jadi berdasarkan perhitungan delapan penjuru mata angin di atas dapat dikatakan bahwa perputaran bulan mengeliling bumi berpengaruh terhadap kehidupan di bumi; pasang naik dan pasang surut merupakan contoh nyata dari kejadian itu—termasuk gerhana bulan. Di banding dengan orang Jawa; delapan penjuru mata angin dijadikan sebagai teladan dan pedoman dalam bertingkah laku. Bukan tidak mungkin, mistik Jawa juga menggunakan delapan penjuru mata angin untuk kepentingan perdukunan, dan lain-lain.

F. Filsafat Barat dan Nusantara (Minangkabu?); Tentang Talempong
Secara musikal; bagaimana urutan tanga nada talempong jinjiang sebagai produk kebudayaan dalam pandangan fisafat Barat --modern dan Nusantara (Minangkabau?) Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dari sudut pandang filsafat. Namun, sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentunya tidak mudah untuk memunculkan apa yang dipertanyakan dalam judul tulisan ini tentang filsafat Minangkabau? Namun demikian, ia tetap mempunyai filosofi tersendiri yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan sebagai bahan perbandingan antara filsafat Barat --modern dan Nusantara.
Secara filosofis, pemikiran filsafat Barat --modern sangat mengadalkan Aku (ego) rasio / logika berfikir untuk mengatakan sesuatu itu benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Menurut Dharsono (2007); filsafat Barat --modern, dimana cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya. Kebudayaan Barat --modern mengidentifikasikan  Aku (ego) manusia dengan ciptaan-Nya (ratio-akal) (Dharsono, 2007: 107).
            Dalam kebudayaan musikal –Barat --modern, secara filosofis, telah ditemukan rumusan yang berkaitan dengan penemuan tangga nada dengan skala perbandingan dari satu senar dawai yang direntangkan. Rumusan penemuan tangga nada (sistem nada) itu ditemukan oleh seorang jenius; Phythagoras. Pythagoras dalam Karl-Edmund Prier sj (2008)  menjelaskan bahwa dari getar seutas dawai adalah suatu bilangan/angka. Di dalam dunia musik semua bilangan adalah suara nada dan bilangan; itu yang menentukan tinggi rendahnya suatu nada, dan perbandingan bilangan itu menentukan jarak/interval dari satu nada dengan nada lain (Karl-Edmund Prier sj, 2008: hal 30). Berdasarkan perbandingan panjang pendeknya dawai monocord (satu alat mempunyai satu dawai yang direntangkan akan bernada rendah atau tinggi, menurut panjang atau pendeknya dan besar kecilnya tegangan rentangannya, dan kenyataan inilah yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya satu nada (Edmund Prier. 2008: 30).
            Perbandingan sebagaimana dimaksud Phytagoras menemukan empat macam nada berdasarkan empat perbandingan. Perbandingan itu adalah: 1/1= nada dasar, 2/1= oktaf, 3/2= kwin, dan 4/3 kwart. Dengan ditemukannya kwin oleh Phytagoras ini, maka tangga nada diatonis: c – d – e - f – g – a – b-- c, dapat dibentuk berdasarkan rentetan dari tujuh kwint: f – c – g – d – a – e -- b. Selanjutnya berdasarkan perbandingan kwint adalah 3/2, maka nada-nada dari tangga nada diatonis dapat dirumuskan (Edmund Prier. 2008: 30).
Terkait dengan apa yang dikatakan Edmund Priyer; William H. Haviland (1985) menjelasakan bahwa dalam sistem musik Barat, jarak antara nada dasar dan nada atasnya yang pertama itu disebut oktaf, dan terdiri atas tujuh tingkat lima nada ”utuh” dan  dua nada ”tengahan” dan diberi nama huruf A sampai dengan G. (William H. Haviland, 1985:235).
Berdasarkan teori Phytagoras seperti dikemukan Edmund Priyer dan William H. Havikad di atas, digunakan pula sistem cent sebagaimana dikemukakan Alexander Jhon Elis untuk menghitung jarak antara nada yang satu dengan yang lain. Ia membagi tangga nada diatonis yang berjarak sama (equal temperament), seperti terdapat pada pino adalah oktaf= 1200 c (cent). Dan jarak setengah nada (semintones) = 100 cent. Maka interval nada c – c#= 100 cent, dan interval nada c – d= 200cent, dan begitu seterusnya (J. Murray Barbour and Fritza Kutner, 1958: hal 1-2). Rentangan dan jarak antara urutan nada seperti dimaksud Jhon Elis dapat difomulasikan sebagai berkut.
C   200   D  200  E  100  F  200  G  200  A 200  B  100  C = 1200 cents
            Secara filosofi (filsafat) dapat dikatakan bahwa tanga nada atau sistem nada serta jarak antara nada musik Barat yang ditemukan oleh Phytagoras dan Alexander Jhon Elis dengan konsep cent-nya, adalah sebuah gambaran seperti dimaksud Daharsono tentang filsafat Barat --modern. Secara musikal, temuan Phytagoras dan Jhon Elis adalah sebuah kesempurnaan dan seklaigus sebuah kebenaran berdasarkan ratsio/ akal. Jadi, musik-musik atau tangga nada musik yang melenceng dari sistem nada sebagaimana dimaksud, tentunya sulit untuk dijadikan sebagai ukuran sebagai musik; menurut filsafat Barat.
Tekait dengan apa yang ditemukan Phyatagoras  dan Alexander Jhon Elis tentang sistem nada diatonis dan untuk menghitung jarak antara nada yang satu dengan yang lain dengan sistim cents, maka urutan nada talempong jinjiang dengan sampel talempong dari Nagari Padang Magek yang  diukur oleh Boestanuel Arifin Adam (dalam Mahdi Bahar, 1997: 7). Berdasarkan formula sistem nada musik Barat,  dapat diformulasikan sebagai berikut.
Sistem nada diatonis
1                2               3               4               5             6            7            1     

            do              re             mi              fa            sol           la             si            do

C    200     D    200    E    100    F    200   G   200   A   200   B   100  C

Jarak dari nada c (nada pertama) ke nda c (dengan jarak satu oktav) berjumlah 1200 cent, dengan ketentuan jarak c   ke   d = 200 cents dan seterusnya (lihat contoh di atas).
Adapun posisi nada pangkal talempong Padang Magek berdasarkan sistem nada diatonis dapat dijelaskan sebagai berikut.
1             2             3              4            5         6         = Urutan Dlm Angka

ais              b             cis              d              e          fis = Nada pangkal

            s+ 50, c --   b + 50, c --  cis – 20, c --  d + 20, c --  e – 35, c – fis- 30, c = Cent
.
Berdasarkan perhitungan nada dengan sistem nada diatonis di atas, dapat dikatakan bahwa nada talempong tidak mengikuti rumusan sistem nada sebagaimana ditemukan Phytagoras dan Alexander Jhon Elist. Pada titik ini Mahdi Bahar (1997) menjelaskan; maka ternyata nada yang bertangga itu bukanlah merupakan wujud dari satu hukum, baik berdasarkan perbandingan maupun  secara akustik. Kenyataan demikian menunjukan bahwa rentetan nada-nada talempong yang berbeda itu bukanlah pelahiran dari satu sistem. Yakni sistem tangga nada yang merupakan ukuran nilai estetika utama bagi masyarakat Minangkabau untuk fondasi bangunan musik mereka (Mahdi Bahar, 1997: 11).
Dalam falsafah  kebudayaan Minangkabau; konsep kesempurnaan itu juga berorientasi pada kebenaran dan kekuasaan; kebenaran itu dibangun secara bertingkat, baik dari pandangan adat maupun dari pandangan keagamaan. Mengutip kembali seperti apa yang dimaksud  Mochtar Naim (2002) bahwa --pandangan adat, kesempurnaan itu (dalam arti kebenaran) tercermin dalam falsafah adatnya sebagai berikut.
Kamanakan barajo kamamak,
mamak barajo ka pangulu,
pangulu barajo kamumpakaik,
mumpakaik barajo ka nan bana,
nan bana badiri sandirinyo.

Nan Bana nan berdiri sendiri itu mempunyai kekuatan spiritual yang penggenggam utamanya secara absolut tida lain adalah Allah; al-Haqq, yang ditangan-Nya terletak kebenaran yang absolut itu. Konsep pemikiran itu muncul berdasarkan falsafah (filosofi-filsafat) adat alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru).
Konsep pemikiran demikian bila ditafsirkan, ada tingkatan yang berjenjang atau bertangga untuk mencapai kesempurnaan; seperti terungkap dalam falsafat adat: bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Berjenjang naik itu dapat diasumsikan adanya urutan dari tangga yang pertama sampai anak tangga terakhir. Secara filosofis ada kemiripan terbentuknya susunan nada talempong  jinjiang; mencerminkan ada tingkatan nada dari nada pertama sampai nada ke enam (1    2     3    4    5    6). Formulasi  kamanakan barajo ka mamak dan berjenjang naik, bertangga turun sebagai mana dimaksud dapat diformulasikan sebagai berikut.





Falsafah Kamanakan Barajo KamamakOval: Bana Badiri Sandirinyo
Allah; al-Haq


                                                                    Ka Nan Bana
                                               Barajo                      
                                                Mumpakaik    
                               Barajo                              
                                    Pangulu          
                Barajo                                                         
                        Mamak                                
Barajo                                                             
Kamanakan                                                    
                                                                       

Falsafah Bajanjang Naik Batanggo Turun

Berjenjang Naik                                                          Bertangga Turun
 





Bandingkan dengan tangga nada musik Barat.
1                2               3               4               5             6            7            1     

            do              re             mi              fa            sol           la             si            do
 

                                                            do      1               C’ = 1200 Cent
Tangga Nada Musik Barat           si      7
                                           la        6                      6                     Fis = 770 C
                                    so      5                        5          
                           fa      4                        4
                  mi      3                        3                               Urutan Nada Talempong
            re     2                        2           
do       1                         1
              C                             Ais
C    200     D    200    E    100    F    200   G   200   A   200   B   100  C
ais+ 50, c --   b + 50, c --  cis – 20, c --  d + 20, c --  e – 35, c – fis- 30, c
Berdasarkan fakta musikal dari filsafat Barat --modern dengan filosofi adat Minangkabau dapat dikatakan bahwa terbentuknya urutan nada talempong di Minangkabau dilandasi oleh filosofi adatnya; banjanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertanga turun). Namun prinsip dasar urutan nada yang berjenjang itu tidak terikat dengan hukum tertentu, seperti perhitungan nada pada musik Barat --modern; dimana jarak antara nada pertama dengan kedua dapat diukur dan dipastikan dengan sistim cents, seperti dikemukakan Jhon Elis pada bagian sebelumnya.
Terkait dengan dasar filosofi dan pembentukan urutan nada talempong di atas;  Mahdi Bahar (1997) menejlaskan bahwa rentetan nada yang berbeda itu terlahir sebagai kehendak untuk memenuhi kebutuhan akan adanya nada-nada yang berbeda; membangun musik talempong, yang mereka perlukan adanya nada yang berbeda (Mahdi Bahar, 1997: 12). Perbedaan yang dimaksud tentunya tidak tersusun secara paralel; tapi bertingkat, seperti terungkap dalam falsafah adat berjenjang naik, bertangga turun; inilah hukum alam dalam falsafah alam terkembnag jadi guru.

G. Budaya Konflik dan Talempong
 Orang Minangkabau menurut mitologinya berasal dari orang ninik yang bersuadara seibu tapi berlainan ayah. Yang satu bernama Datuk Katumangguangan dan yang satu lagi bernama Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Menurut Mocthar Naim (1983) dikatakan bahwa dari dua orang ninik inilah dijelaskan terjadi phratry dualism yang sampai saat ini mewarnai segi –segi hidup dan kebudayaan Minangkabau, yang ke luar dan secara totalitas dianggap sebagai satu, tapi ke dalam membentuk sebuah sistem kemasyarakatan dan kebudayaan yang dialektis, dikotomis dan bipolarits (Machtar Naim, 1983: 56). Konflik membayangkan kedinamikaannya, karena dimana ada tesis, di sana diharapkan selalu ada antitesis, sedangkan konsesnsus melambangkan terjadinya proses sintesis dalam usaha mencari keseimbangan (Naim. 1983: 56).
Berdasarkan falsafah (filosofi-filsafat) adat Basiliang kayu dalam tungku di sinan api mangkonyo iduik (bersilang kayu dalam tungku di sana api bisa hidup) dengan proses pembentukan repertaoar lagu dalam ensambel talempong jinjiang. Hal itu memberikan gambaran sebagaimana dimaksud Zaiyardam Zubir (2010) bahwa silang sangketa atau pun perbedaan diakui sebagai suatu hal yang seharusnya untuk menciptakan sebuah konflik dalam masyarakat, sehingga konflik merupakan bagian yang integral dalam masyarakat, sebagai upaya mencari integrasi (Zaiyardam Zubir. 2010: 32). Perbedaan dan kebebasan merupakan dasar filosofi yang dibutuhkan dalam membangun kebudayaan Minangakabu. Perbedaan atau konflik menggambarkan dinamika dalam sebuah kebebasan yang dialektis; konsesnsus merupakan hasil akhir untuk mencapai kesempurnaan.
Budaya konflik seperti dikatakan di atas, juga tercermin dalam penggarapan lagu talempong jinjiang. Talempong jinjiang  di Minangakabau biasanya teridiri dari (1) satu set talempong, biasanya terdiri dari 5 atau 6 buah talempong; (2)  satu buah gendang bermuka dua; (3) satu atau dua buah canang; (4)  satu buah pupuik gadang. Pukulan masing-masing pasangan talempong membentuk pola ritem, jalinan ketiga pemain yang menghasilkan pola ritem berbeda akan mengasilkan melodi tertentu, dan pada akhirnya membentuk sebuah lagu. Talempong jinjiang yaitu suatu bentuk pertunjukan talempong yang dimainkan oleh tiga orang pemain. Masing-masing pemain memegang dua buah talempong yang berbeda dan mempunyai nama yang berbeda sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Pasangan pertama biasa disebut pambao (pembawa), pasangan kedua disebut paningkah (peningkah), dan pasangan ketiga disebut palalu (pelalu) atau panyudahi (penyudahi). Ketiga posisi itu mempunyai peran, dan ia merupakan satu kesatuan yang untuk terwujudnya sebuak kesempurnaan; melalui proses konflik.
Terkait dengan pola permainan telempong di atas, Kartomi (1980) menjelaskan bahwa para pemain talempong memaikan melodi-melodi cepat yang saling mengisi (interlocking), dengan pola ritem yang interlocking masing-masing pemain memegang satu atau dua buah talempong di tangan kiri dan sebuah stick kayu yang tidak dilapisi, untuk memukul alat musik tersebut di tangan kanan. Perpaduan alat musk tersebut menjali satu aliran suara musik, yang mana masing-masing alat musik menyumbangkan sebuah nada, juga dalam giliran, ataupun memberi interval, ke dalam garis melodi tersebut. Satu garis melodi dibentuk/diinprovisasikan menurut aturan (dalam batas-batas dan aturan-aturan dari tradisi musik itu sendiri). Teknik interlocking ini memungkinkan dalam membuat suatu pertunjukan dari melodi-melodi yang cepat tanpa usaha/kerja keras (great effort) pada masing-masing bagian yang dimaikan masing-masing pemain talempong (Kartomi, 1980: 114-115). Pola permaian dalam bentuk interloking itu cerminan budaya konflik; tanpa konflik atau disilangkan antara pola ritem, niscaya sebuah lagu (gua) tidak akan terbentuk. Jadi, dengan demikian, konflik sesuatu yang harus ada dalam penggarapan sebuah lagu dalam permainan talempong. Inilah yang dikatakan daam filosofi adat; basilang kayu dalam tungku di sinan api mangkonyo iduik (bersilang kayu dalam tunggku, di sana apai makanya hidup). Inilah yang dikatakan Parker dalam Dharsono (2011) keseimbangan adalah kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni walapun unsur-unsurnya tampaknya bertentangan tapi sesungguhnya saling memerlukan karena bersama-sama mereka menciptakan suatu kesatuan; dengan kesamaan dari nilai-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis (Dharsono: 2011: 29).
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa teknik basaua ( interlocking) adalah cara yang dipakai dalam membentuk suatu komposisi melodi (resultant melodies) maupun ritem, dengan cara membagi tugas antara dua atau lebih pemain. Masing-masing pemain memainkan bentuk pola ritem yang berbeda dan saling mengisi (dikonflikan), yang akhirnya menjadi satu kesatuan komposisi; itu mencerminkan bagaimana konflik dibangun untuk mencapai hasil yang bisa diterima; keseimbangan secara estestis. Secara musikal, teknik  basaua (interlocking) yang dipakai dalam penggarapan musik talempong berhubungan langsung dengan gaya permainan. Permainan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah permainan talempong; dalam arti komposisi musik sebagai produk bunyi alat musik, yang dimaikan oleh pemain talempong.

H. Talempong Jinjiang: Struktur Fertikal dan Horizontal
Struktur akan menggambarkan adanya stratifikasi; stratifikasi menjadikan berfungsinya suatu sistem; sistem mencerminkan ada institusi. Menurut Geprge Ritzer—Douglas  J. Goodman (2008) tak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali tanpa kelas. Stratfikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem; keperluan ini menyebabkan adanya sistem stratifikasi. Sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan menunjukan bahwa stratifikasi tidak mengacu kepada individu di dalam sistem stratifikasi, tetapi lebih kepada sistem posisi (kekdudukan) (Geprge Ritzer—Douglas J. Goodman, 2008: 118).
Bertolak dari pemikiran Geprge Ritzer—Douglas  J. Goodman di atas; talempong sebagai produk budaya –cultur-- musikal yang diciptakan oleh masyarakatnya; tidak dapat dipungkiri, ia pasti mempunyai kaitan atau ada benang merah yang menghubungkan keduanya. Seperti  dipertanyakan; bagaimana keterkaitan struktural talempong jinjiang (sebagai produk cultural) dengan struktur kehidupan masyarakat Minangkabau, baik secara vertikal dan horizontal. Dari sudut pandang kebudayaan, Robert K. Merton (1986) mendefinisikan kultur sebagai seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang menentukan perilaku berasma anggota masyarakat atau anggota kelompok. Struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya (Robert K. Merton, 1986: 216). Dalam hal ini, talempong dapat dipandang sebagai produk kultural, yang juga mempunyai seperangkat nilai normatif yang terorganisir; dan bagaimana hubungan keduanya?
Menurut pemikiran J. van Baal (1988) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan produk dari struktur yang mendasarinya; struktur itu sendiri merupkan suatu keteraturan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan suatu sistem relasi). Struktur harus ditemukan dengan studi dan analisa, sebab struktur itu baru muncul dengan strudi dan analisa (J. van Baal. 1988: 120).
Terkait dengan apa yang dikatakan Robert K. Merton; dan  J van Baal di atas; bahwa struktur dalam konteks kebudayaan Minangkabau dapat dibedakan secara vertikal dan horizontal. Kedua model struktur masyarakat Minangkabau itu, erat kaitannya dengan sistem poltik-hukum dari dua kelarasan, yaitu Kalarasan Kotopiliang yang digagas oleh Dt. Katumangguangan, dan Kelarasan Bodicaniago oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang.
Terkait dengan kedua tokoh legendaris Minangkabau itu; Hajizar (1988) menjelaskan  bahwa kalarasan Bodi Caniago dengan tokoh pelopornya Datuak Parpatiah Nan Sabatang menganut gaya pemerintahan sistem domokrasi. Dalam sistem ini, pengambilan keputusan yang akan dijalankan dalam pemerintahan dilakukan secara musyawarah. Kalarasan Koto Piliang dengan tokoh pelopornya Datuak Katumangguangan. Gaya pemerintahannya lebih bersifat otokrasi, tetapi tetap mengnadung unsur musyawarah. Keputusan-keputusan hanya dimusyawarhakan pada tingkat pimpinan tertinggi saja, dan masyarakat harus menerima hasil keputusan yang diturunkan dari atas (Hajizar. 1988: 49-50).
Dt. Katumangguangan dengan Kelarasan Kotopiliang-nya lebih terkesan otokrasi; gaya pemerintahannya diistilahkan dengan titiak dari ateh (titik dari atas); kesan seperti itu memberikan gambaran bahwa struktur yang dibangunya vertikal atau bertingkat (lihat falsafah adat seperti dikemukakan Mocthar Naim pada bagian sebelumnya: kamanakan barajo ka mamak dan seterusnya). Demikian pula terhadap struktur masyarakat di bawah kendali mamak; dikenal dengan istilah kamanakan di bawah daguak (kemenakan di bawah dagu; (2) kamanakan di bawah pusek (kemenakan di bawah pusat) dan ; (3) kamanakan di bawah lutuik (kemenakan di bawah lutut (lihat bagan berikut).
Falsafah Kamanakan Barajo KamamakOval: Bana Badiri Sandirinyo
Allah; al-Haq


                                                                    Ka Nan Bana
                                               Barajo                      
                                                Mumpakaik    
                               Barajo                                                       (4) Mamak Suku
                                    Pangulu                                   (3) Mamak kaum
                Barajo                                              (2) Mamak Nan Sabuah Paruik
                        Mamak                        (1) Mamak Rumah    
Barajo                                                 
Kamanakan                                                                 
 

                     
            Kamanakan di bawah daguak

Kamanakan di bawah pusek                 Model Kotopiliang

Kamanakan di bawah lutuik
Itu adalah gambaran struktur masyarakat di bawah tradisi politik-hukum kelarasan Koto Piliang. Struktur masyarakat seperti itu berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam kaummnya, terutama bila dikaitkan dengan warisan gelar pusaka dan kewenangan lainnya dalam struktur masyarakat dalam nagari. Gambaran struktur seperti dimaksud, paralel dengan struktur urutan nada talempong; dari nada terendah sampai nada tertinggi.
Struktur masyarakat yang dibangun oleh kelarasan Bodi Caniago lebih bersifat demokratis. Untuk menggambarkan struktur masyarakatnya dengan ungkapan; kamanakan batali darah (kemenakan bertali darah); kamanakan bertali adaik (kemenakan bertali adat); dan kamenakan batali budi (kamanakan bertali budi); dan kamanakan batali ameh (kemenakan bertali emas). Dalam konsep lain juga ada yang menyebutnya; (1) kamanakan kanduang (kemenakan kandung); (2) kamanakan saparuik (kemenakan seperut), dan ; (3) kamanakan sekaum (kemenakan sekaum)..   Secara filosofis, tergambar adanya kesetaraan –horizontal--antara sesama manusia; namun dari segi hak dan kewenangan tetap berbeda. Ini juga tergambar dalam struktur pembentukan lagu talempong; masing-masing posisi (pambao, paningkah dan palalu) menggambarkan struktur yang paralel; masing-masing posisi mempunyai kewenangan yang melekat pada struktur musik yang dibangun. Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa secara struktural, musik dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, terdiri dari bagian-bagian musikal yang saling mendukung. Gambaran struktur mayarakat (kemenakan) model Kalarasan Bodi Caniago dan kaitannya dengan struktur pembentukan lagu talempong dapat dilihat pada bagan berikut.




            Pembentukan Lagu Talempong                      Struktur Kemenekan Horizontal
KBB
 
KBA
 
KBD
 
TLP3
 
TLP2
 
TLP1
 
           
 






Catatan;                                                               Catatan:
TLP1 = Talempong Pambao                              KBD = Kamanakan Batali Darah
TLP2 = Talempong Paningkah                           KBA = Kamanakan Batali Adaik
TLP3 = Talempong Panyudahi                           KBB = Kamanakan Batali Budi

Pada tingkat pimpinan; struktur paralel itu juga tergambar dalam ungkapan falsafah adatnya, yaitu tungku nan tigo sajarangan yang teridiri dari Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai. Ketiga isnstitusi itu mempunyai peran dan kewenangannya masing-masing; persoalan anak-kemenakan atau masyarakat yang bertalian dengan adat, yang berwenang menyelesaikannya adalah Niniak Mamak. Persoalan anak-kemenakan atau masyarakat yang bertalian dengan agama, yang berwenang menyelesaikannya adalah Alim Ulama; demikian pula, segala urusan anak-kemenakan atau masyarakat yang berkaitan dengan masalah di luar yang dua tadi, seperti urusan politik, hukum, pendidikan, ekonmi dan lain-lain diserahkan kepada Cadiak Pandai. Model kepemimpinan seperti dalam ungkapan tersebut diistilahkan dengan tali bapilin tigo, tungku nan tiggo sajarangan (tali bapilin (berjalin) tiga, tungku nan tigga sajarangan).
Gamabaran struktur paralel seperti disebutkan di atas, juga sama dengan struktur musik talempong jinjiang; masing-masing posisi (pambao, paningkah, dan palalu) mempunyai peran dan kewenangan yang sama dengan falsafah tungku nan tigo sajarangan, dan masing-masing berkontribusi dan saling berjalinan  seperti dimaksud dengan tali bapilin tigo (tali berpilin tiga). Pola ritem yang dimainkan oleh masing-masing pemain talempong, harus disilangkan untuk membentuk sebuah lagu; tanpa adanya persilangan dari tiga pemain tadi, lagu tidak akan terbentuk. Inilah yang dikatakan dalam falsafah adat mereka; basilang kayu dalam tungku, di sinan api mangko ka iduik (bersilang kayu dalam tungku, di sana api makanya hidup). Itu merupakan gambaran bahwa konflik merupakan hal yang harus ada dalam permainan talempong jinjiang. Inilah yang dikatakan Zayardam Zubir (2010) bahwa konflik mempunyai kedudukan penting dalam menumbuhkan dinamika kebudayaan. Konflik tidak hanya membawa ke arah perpecahan, sebaliknya konflik inilah yang menjadi sumber dinamika dalam masyarakat Minangkabau (Zayardam Zubir. 2010: 33).
            Terkait dengan hubungan struktur musik atau bunyi musik –talempong jinjiang-- sebagai perilaku manusia atau sebagai produk budaya dan struktur masyarakat sebagai pemilik kebudayaan, seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya; tidak dipungkiri bahwa keduanya mempunyai keterkaitan. Alan P. Merriam (1964) menjelaskan bahwa bunyi musik sebagai hasil perilaku manusia memiliki struktur tertentu; dan mempunyai suatu sistem, namun ia tidak dapat berdiri  sendiri; terpisah dari masyarakat pendukungnya  (Alan P. Merriam. 1964: 32).  Terkait dengan apa yang dikatakan Merriam; T.O. Ihromi menegaskan bahwa musik sebagai hasil perilaku manusia, memiliki struktur tertentu dan mencerminkan sebagian sistem gagasan dan tindakan masyarakatnya. Bahwa kebudayaan merupakan pencerminan atau perwakilan lahiriyah dari struktur pikiran manusia yang mendasarinya (T.O. Ihromi. 2009: 66). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telempong jinjiang mempunyai kaitan yang erat dengan struktur masyaraknya.

Kesimpulan
Dari sudut pandang filsafat Barat (modern), urutan tangga nada talempong tidak mencerminkan bahwa ia dibuat berdasarkan ciptaan individu. Apa yang dikatakan music dalam kebudayaan Barat (konvensional), merujuk pada sebuah system music sebagaimana ditemukan oleh Pythagoras dan Alexander Jhon Elis. Sementara itu; talempong sebagai kebudayaan musical tidak diciptakan berdasarkan rumusan music sebagaimana dimaksud filsafat Barat. Walapun sebagai music, ia juga mempunyai urutan nada (tangga nada), tapi tidak tunduk terhadap kaidah-kaidah yang berlaku seperti music Barat.
Musik sebagai hasil perilaku manusia memiliki system dan struktur tertentu. Secara structural, music dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh terdiri dari bagian-bagian musical yang saling mendukung. Keutuhan sebuah lagu dari talempong, mestilah didukung oleh bagian-bagian yang berparan dalam struktur musiknya; peran itu terdiri dari pambaoan, panyaua, dan panyudahi. Pola ritem dari masing-masing bagian membentuk sebuah lagu (gua), yaitu melalui persilangan dari masing-masing posisi; dari situlah tercitanya sebuah lagu. Inilah yang dikatakan dalam filosofi adat Minangkabau; basiliang kayu dalam tungku di sinan api mangkonyo iduik (bersilang kayu dalam tungku di sana api bisa hidup).
Struktur talempong jinjiang secara vertikal dapat dilihat dari urutan tangga nadanya; struktur yang demikian sejalan dengan struktur masyarakat Minangkabau gaya Kalarasan Datuak Katumangguangan yang secara hirarki dikatakan bajanjang naiak, batanggo turun; adanya tingkatan-tingkatan yang mencerminkan urutan secara vertical. Namun dalam pemebentukan lagu; secara structural, posisi yang terdiri dari pambaoan, panyaua, dan panyudahi berada dalam posisi yang sejajar atau horizontal; ia tidak menunjukan yang satu lebih tinggi dari pada yang lain. Ini mencerminkan filosofi Kalarasan Bodi Caniago; duduak samao randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, tegak sama tinggi).












DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Adam Boestanuel, 1986/1987. ”Talempong Musik Tradisional Minangkabau. Laporan Ppenelitian. ASKI: Padangpanjang.

Ataladjar, Thomas B. 1990. “Seni”. Dalam Ensiklopedi Indonesia. Jilid 14: Jakarta.

Baal, J. van. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya; Hingga Dekade 1970. Jilid 2. Jakarta: Gramedia.

Bahar, Mahdi. 1997, ”Adakah Sistem Tangga Nada Talempong Musik Tradisional? Makalah. Disampaikan daam Seminar Jurusan Karawitan.

Banoe, Pono, 2003.  Kamus Istilah Musik. Jakarta: C.V. Baru.  

Darsono (Soni Kartika). 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sain.
-------------- (Soni Kartika). 2010. “Estetika Nusantara, Orientasi Terhadap Filsafat, Kebudayaan, Pandangan Masyarakat, dan Paradigma Seni. Prosiding Seminar Nasional Estetika Nusantara. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Ensiklopedi Indonesia.  Jilid V. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru –Van Hoeve.

Gazalba, Sidi, 1974. “Adat, Agama dan Kebudayaan Barat”. Majalah Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minangkabau.

Hajizar. 1988. ”Studi Tekstual Dan Musikologis Kesenian Tradisional Minangkabau Sijobang: Kaba Angun Nan Tongga Magek Jabang”. Skripsi Sarjana.Medan: Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastera Universitas Sumatra Utara.

Haviland, William H., 1988. Antropologi Jilit I. Terjemahan R.G.Soekadidjo. Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T.O. 2009. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Kartomi, J, 1980. Musical Strata in Sumatera, Java and Bali dalam Musics of Many Cultures. Ed. E. May.Barkeley and Los Anggeles. University of California Press.

Mansoer, M.D. dkk, 1970: Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bratara.

Merriam, Alan P. 1964. Anthropology of Music. Chicago: Northwestern University Press.

Merton, Robert K. 1986. Social Teori and Sicial Strukture. New York: Free Press

Naim, Mochtar. 2002. ’Menelusuri Jejak Melayu Minangkabau Melalui Pendekatan Konflik’, dalam Menelusuri Jejak Melayu Minangkabau (eds.) Padang: Yayasann Citra Budaya Indonesia.

Ritzer, Geprge—Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group.

Suryadi. 1995. “Dialektika Adat dan Agama Dalam Sastra Lisan Minangkabau:, Horison Majalah Sastra dan Budaya. No. 12, Th ke-4. Jakarta:  Yayasan Obor Indonesia.
Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya. Bandung: Penerbit ITB.

Priyer sj , Kart-Edmund, 1991. Sejarah Musik Jilid I. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Zubir, Zaiyardam. 2010. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan. Yogyakarta: INSISTP Press.
Faisal Ismail. 1977. ParadigmaKebudayan Islam. Jakarta: Titian Illahi Pres. P. 28.

Faisal Ismail. 1977. ParadigmaKebudayan Islam. Jakarta: Titian Illahi Pres.

Ernst, Cassirer. 1987. Manusia dan Kebudayaan; Sebuah Esei TentangManusia. Jakarta: Gramedia.

H.M. Syafaat. H. M. 1974. Islam Agamaku. Jakarta: Wijaya.


Mu’tasim, Radjasa. 1988.  Bisnis kaum Sufi: Studi tarekat Dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djelani, Abdul  Kadir. 1996, Koreksi Terhadap Ajaran Tasauf. Jakarta: Gema Insani Press.

Bayat, Mojdeh. 1977. Thales From the Land of  The Sufis. Terj. M.S. Nasrolloh. Jakarta: PT. Lentera Baristama.

Simuh. 1996. Sufisme Jawa,: Transpormasi Tasauf Islam Ke Mistik. Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya.

Dharsono (Soni Kartika). 2007. Estetika. Rekayasa Sain Bandung.
Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan; Sebuah Esei TentangManusia. Jakarta: Gramedia.

Djailani, Abdul Qadir. 1996. Koreksi Terhadap Ajaran Tasauf. Jakarta: Gema Insani Pres.

Hadi, Y. Sumandiyo.  2000.  Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.

Husein, Nasr Seyyed. 1993. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Penerbit Mizan.

Ismail, Faisal. 1977. ParadigmaKebudayan Islam. Jakarta: Titian Illahi Pres.

Kartodirjo, Sartono. 1986. Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur; Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana.

Muhaya, Abdul. 2003. Bersufi Melalui Musik. Yogyakarta: Gama Media.

Rouget, Gilbert. 1985. Music and Trance. Chicago: University of Chicago Press.






















Lampiran ini memberikan contoh ensambel talempong jinjiang



Gambar 1. Talempong



Gambar 2. Teknik Menstem Talempong



Gambar 3.  Teknik Memainkan Talempong


Gambar 4. Memainkan Talempong dalam Posisi Duduk



Gambar 5. Memainkan Talempong dalam Posisi Berdiri







Sebagai bagian dari produk budaya merupakan pencerminan atau perwakilan lahiriyah dari pikiran masyarakatnya. Oleh karenanya, ia –talempong jinjiang-- juga memiliki sistem dan struktur tertentu, sebagaimana masyarakat juga memilikinya. Teori yang dipakai untuk menemukan hubungan antara keduanya; didasari oleh kajian Antropologi sebagaimana dikemukakan Merriam (1964); bunyi musik sebagai hasil perilaku manusia memiilki struktur tertentu; dan merupakan suatu sistem, namun ia tidak dapat berdiri sendiri atau terpisah dari masyarakat pendukungnya (Alan P. Merriam. 1964: 32). Terkiat dengan Merriam; Blacking (1973) menjelaskan bahwa struktur musik mencerminkan sistem kognitif yang melahirkan struktur lain, termasuk struktur masyarakat yang melahirkannya (Jhon Blacking. 1973: 24-25). Lebih jauh Blacking menjelaskan sebagai berikut.
Bahwa musik adalah suara yang tersusun secara manusiawi oleh manusia, mestinya ada hubungan antara pola penyusunan  dengan pola-pola suara (musik) yang dihasilkan oleh manusia. Bila suara musik dianggap sebagai objek, dan manusia yang menciptakan musik tersebut adalah subyek, maka kunci dalam memahami musik berada dalam hubungan-hubungan yang terdapat antara subyek dan obyek, yakni berupa prinsip-prinsip yang berlaku dalam (membentuk) organisasi (struktur) masyarakat dan struktur musik yang dihasilkannya (Jhon Blacking. 1973: 24-25).

Terkait dengan apa yang dikemukakan Merriam; Blacking di atas; T.O Ihromi (2010), dari sudut pandang antropologi budaya mengemukakan bahwa musik sebagai hasil perilaku manusia yang memiliki struktur tertentu mencerminkan sebagian sistem gagasan dan tindakan masyarakatnya; kebudayaan merupakan pencerminan atau perwakilan lahiriyah dari struktur pikiran manusia yang mendasarinya (T.O Ihromi. 2010: 66). Lebih tegas, Baal (1988) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan produk dari struktur yang mendasarinya. struktur itu sendiri merupakan suatu keteraturan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan (suatu sistem relasi). Struktur harus ditemukan dengan studi dan analisa, sebab struktur itu baru muncul dengan studi dan analisa (J van Baal.  1988: 120).



[1] Selanjutnya dijelaskan bahwa Agama Hindu merupakan sebagai agama tertua di dunia yang lahir di India dengan kitab sucinya Weda (1250 SM).Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga dikatahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reikarnasi yang berasal dari ajaran agama ini (Jailani. 1996: 9).
[2] Dalam dunia Kristen, filsafat monisme dengan teori emanasinya, dengan tokoh utamanya Plotinus. Dalam buku Enneades, Plotinus menyatakan bahwa pusat semua wujud alam semesta (universum) adalah Tuhan Yang Maha Esa, ...hakikat segala sesuatunya. Dari Tuhan Yang Maha Esa itu memancarlah (emanasi atau al-fa’id) akal (nous, mind atau spirit) sebagai tingkat terteinggi, seperti ke luarnya sinar dari benda yang bercahaya. Akal tersebut adalah “fikiran tertinggi” bagi universum dan bagi dunia ide serta gudang dari dunia materi. Dari akal memancarlah “jiwa tertinggi” (over-soul) yang menjadi pokok kehidupan, kegiatan, dan pertumbuhan. “Jiwa tertinggi” tersebut menjadi hidupnya semua kehidupan dan berisi semua jiwa. Dari “jiwa tertinggi” memancarlah dunia nyata, yang serba neka. Materi adalah sesuatu yang tidak nyata, ia hanya pembatas bagi jiwa yang hakiki dan abadi. Teori Plotinus dengan filsafat monisme dengan emanasinya dikenal dengan nama Plotinus Triniti (Tuhan Yang Esa ------ akal ------jiwa). Panteisme ini hanya dapat dicapai dengan jalan “tasauf” (Abdul Qadir Djailani. 1996: 35).
[3] Weber, Max . 1964. The Sociology of Relegion. Dalam Kontowijoyo (1987);  sebagai Ilustrasi, Weber dan Wiliam James menjelaskan bagaimana perbedaan sikap agama-agama terhadap seni. Menurut Weber, agama orgiastik cenderung mengembangkan nyanyidan musik, agama ritualistik cenderung kepada seni-seni pictorial, dan agama yang menganjurkan cinta akan menyukai perkembangan puisi dan musik. Demikian juga perbedaan yang terjadi antara Katolik dan Protestan. Menurut William James bahwa Katolik penuh dengan bentuk-bentuk yang menggugah hasrat manusia, sedangkan Protestan, sebaliknya, nampak sebagai sebuah rumah orang miskin dalam segi kaitan agama dan seni (Kontowijoyo. 1987: 54).

1 komentar: