Kamis, 17 November 2011

Sejarah Talempong Minangkabau

ENSAMBEL TALEMPONG JINJIANG MINANGKABAU DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

 

 

 

 

 

 

 

                    


PENGKAJIAN SENI

Diserahkan untuk
 Melengkapi mata Kuliah Sejarah Seni

Dosen Pembina

Prof. Dr. Rustopo

Oleh:

Andar Indra Sastra

                                       No. Induk. 1131117



PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2011


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ensambel talempong jinjiang[1] dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, tidak dapat dipisahkan dari perjalan sejarah masa lalu. Sebagai alat musik;  Soeharto (1978) menjelaskan bawa talempong adalah alat musik dari Minangkabau sejenis bonang yang terbuat dari perunggu dan sejenisnya, bentuknya budar dengan pencu di tengah, ada yang dimaikan sambil berjalan, tangan kiri menenteng satu atau dua satuan, sedangkan tangan kanan memaikan dengan sebuah pemukul. Talempong jenis ini disebut ”talempong pacik[2]. (M. Soeharto, 1978: 152).
Ensambel talempong jinjiang  di Minangakabau biasanya teridiri dari (1) satu set talempong, biasanya terdiri dari 5 atau 6 buah talempong; (2)  satu buah gendang bermuka dua; (3) satu atau dua buah canang; (4)  satu buah pupuik gadang. Pukulan masing-masing pasangan talempong membentuk pola ritem, jalinan ketiga pemain yang menghasilkan pola ritem berbeda akan mengasilkan melodi tertentu, dan pada akhirnya membentuk sebuah lagu.
Secara material, Pono Banoe menjelaskan bahwa telempong terbuat dari campuran tembaga, timah dan kuningan dan termasuk ke dalam klasifikasi idiophone. Dalam terminologi musik hal ini berarti alat musik yang sumber suaranya sekaligus tinggi nadanya bersumber dari alat musik itu sendiri (Pono Banoe. 2003: 191). Alat musik ini dimiliki oleh kelompok-kelompok persukuan dan sebagai simbol identitas atau kebesaran dari suku yang bersangkutan.
Bertolak dari apa yang dikatakan di atas; jelas keberadaannya dalam masyarakat Minangkabau tidak lepas dari  sejarah kebudayaan dan kebesaran kerajaan Minangkabuu masa lalu. Instumen musik atau alat musik yang dibuat dari bahan logam banyak ditemui di wilayah nusanatara. Ia termasuk ke dalam keluarga gong yang memakai pencu (knobbed gong) dengan ukuran dan bunyi yang berbeda-beda; dari segi bentuknya hampir semunya sama. Lebih jauh Mantle Hood (1958)  memberikan gambaran bahwa …salah satu musik tradisional dari logam (metallophone), yang tersebar di kawasan Asia Tenggara; di antaranya disebutkan di wilayah kultur Minangkabau; masyarakatnya meyebutnya talempong (Mantle Hood. 1958: 5).
Keberadaan musik talempong tersebut merupakan salah satu bagaian dari kesatuan sistem budaya masyarakat Minangkabau. Hal demikian dapat dilihat dalam upacara batagak gadang --adat perhelatan pimpinan suku. Arti penting keberadaan musik talempong itu dalam sistem kebudayaan masyarakat Minangkabau tercermin dalam ungkapan pepatah adatnya; kalau alam alah takambang, marawa tampak takiba, batingkah aguang jo talempong,  tandonyo adaik badiri di nagari, pupuik jo saluang kabungonyo, silek jo tari kagunjainyo (kalau alam sudah terkembang, marawa (bendera kebesaran adat) tampak berkibar, bertingkah gong jo talempong, tandanya adat berdiri di nagari, puput jo saluang kebunganya, silek jo tari kegunjainya. Menurut Bahar, gong dan talempong, sejajar dengan ’kekuasaan’ datuak (datuk) sebagai pimpinan tertinggi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau (Bahar. 2009: 7). Sejajar dalam pengertian yang dimaksud Bahar adalah bahwa musik talempong itu mempunyai peran signifikan dalam uacara pengangatan penghulu; seperti dimaksud dalam ungkapan adatnya.
Minangkabau mengandung pengertian kebudayaan di samping makna geografis. Dalam pengertian geografis, Minangkabau merupakan wilayah atau daerah yang terdiri atas kesatuan-kesatuan geografis, politik-ekonomis dan kultur-historis, lazim disebut, Pesisir, Darek, dan Rantau. Dalam pengertian kebudayaan, berarti ada suku bangsa Minangkabau, kebudayaan Minangkabau, dan kesenian Minangkabau. (MD. Mansoer: 1970: 2). Salah satu dari kesenian Minangkabau itu adalah talempong jinjiang.
Talempong itu adalah milik suku (penghulu), bukan milik pribadi; ia mempunyai nilai yang bertalian dengan prestise; ia termasuk barang langka dan barang mahal walapun ia tidak mahal. Inilah yang dikatakan Anthony Reid bahwa yang mampu memilIki alat musik perunggu (Pen. Talempong) pada masa lampau hanya terbatas pada orang kaya (penguasa) saja, dan erat hubungannya dengan status yang menunjukan kebesaran (Anthony Reid, 2011:121-136).
Terkait dengan apa yang dikatakan Matle Hood, Anthony Reid di atas; memberikan sinyalemen bahwa musik talempong telah dipakai dalam kebudayaan Minangkabau dari dahulu kala. Melalui tulisan ini, akan dicoba mengungkap priodeisasi sejarah dan kaitannya dengan musik talempong di Minangkabau.

B. Periodeisasi Sejarah: Talempong Jinjiang
Menurut Claire Holt (2000) bahwa zaman-zaman utama dalam sejarah dapat dikelompokan menjadi empat tahap, yaitu: (1) prasejarah; (2) persebaran agama-agama India, abad I atau II M sampai abad XVI M; (3) penyebaran Islam, lebih kurang dari tahun 1250 hingga sekarang; (4) penetrasi dan ekspansi perdagangan dan politik Eropa, abad ke XVI sampai tahun 1945; dan (5) republik Indonesia yang merdeka -1945 hingga sekarang (Claire Holt. 2000: XXII-XXIV).
I.              Zaman Prasejarah
Zaman Prasejarah, pada zaman ini Claire Holt mengelompokannya menjadi tiga, yaitu: (1) zaman batu tua; (2) zaman batu muda; dan (3) zaman batu baru. Pertama, zaman batu tua (Paleolithic); rentangan waktu tak tertentu; peninggalan-peninggalan dari masa yang paling panjang ini (mungkin beberapa ratus ribu tahun); berupa alat-alat batu yang dipecah secara kasar, seperti alat pemotong, penumbuk, serta kapak. Kedua, Zaman batu pertengahan (Mesolitic) –rentang waktu juga tidak tertentu; ditandai dari benda-benda dari tulang, kerang dan tanduk. Lukisan pada dinding-dinding batu, terutama di daerah bagian Timur dan kepulauan; diperkirakan berasal dari zaman ini. Ketiga, zaman batu baru atau akhir (Newlithic) dari kurang lebih 2500 S.M. sampai 1000 S.M. Teknologi pada zaman batu baru diperkirakan telah diperkenalkan oleh para migran dari Asia Tenggara yang telah mengenal dengan baik pengetahuan kelautan, pertanian, penggunaan kerbau, memelihara anjing dan babi. Megalitik (batu-batu besar) dengan bentuk menhir (Claire Holt. 2000: XXII-XXIV).
 


















Terkait dengan apa yang dijekaskan Claire Holt; khusunya ada zaman batu baru dalam rentang waktu 2500 S.M sampai 1000 S.M. dengan ciri-ciri dapat ditemui dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau. Seperti penggunaan kerbau dan memelihara anjing; sampai saat ini kebiasan itu masih ada dalam kebudayaan orang Minangkabau. Tenaga kerbau masih digunakan untuk membantu manusia untuk bekerja di sawah atau digunakan untuk memutar gilingan tebu. Bahkan; tradisi memelihara anjing yang digunakan untuk berburu; sampai saat ini masih mendominasi hobi orang –laki-laki-- Minangkabau. Demikian pula dengan peninggalan-peninggalan menhir; di Kab. 50 Kota, peninggalan-peninggalan kebudayaan batu itu masih dapat ditemui dan tersebar di beberapa kecamatan.
Berdasarkan fakta sejarah seperti telah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa pada zaman batu baru,  nenek moyang orang Minangkabau sudah ada. Peninggalan-peninggalan menhir itu dapat menjadi fakta sejarah, bila mana ciri-ciri yang dikatakan Claire Holt di atas benar; bahwa 1000 tahun S.M. diperkirakan sama dengan rentangan zaman Nabi  Sulaiman AS – Nabi Isya AS. Pada zaman itu sudah ada hubungan dagang antara Yaman dan Minangkabau. Menurut Setyawati Suleman (1979); berita Arab pada masa pemerintahan Khalifah Muawwiyah (tahun 661-681 Masehi) menyebutkan bawa bandar lada terbesar di Sumatera bagian Selatan, terletak di Zabag Sribusa. Zabag Sribusa diidentifikasikan dengan dengan Muara Sabak, sebuah daerah pesisir yang terletak lebih kurang 63 km sebelah Timur kota Jambi (Setyawati Suleman. 1979: 87). Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau bahwa kisah Nabi Suleman dan Siti Bulqis sudah ada kontak perdagangan dengan Sumatera. Nabi Suleman memerintahaan para Jin untuk mengambil emas di Gunung Ophir Talamau yang terletak di kab. Pasamn Sumatera Barat; untuk menandingi kekuasan ratu Bulqis di daerah Yaman. Kekuasan Ratu Bulqis (orang Barat menyebutnya The Quin of Zeba); raja perempuan dari daerah Zeba. Peninggal Ratu Zeba itu sampai sekarang masih dikenal dengan Bendungan Ma’aritnya; pada zaman itu kontak perdagangan sudah terjalin dengan Sumatera (Minangkabau Timur). Pelabuhan yang terletak di muara Sungai Tembesi itu menjadi sentra perdagangan emas dan lada; masyarakat menyebutnya Muaro Sabak atau pelabuhan Sabak, yang berasal dari kata Zeba; orang Minangkabau menyebutnya Sabak, artinya pelabuhan Ratu Zeba (Sabak) dari negeri Yaman; persis seperti yang diceritan Suleman di atas.[3] Pada titik ini Mansoer (1970) menegatakan bahwa gunung Ophir, puncak Pesaman yang sepanjang zaman berfungsi sebagai ”mercu suar” bagi pelaut-pelaut di Samudera Indonesia. Gunung mytholigis yang dalam kitab Wasiat Lama disebut-sebut sebagai tempat, dari mana nabi Suleman memperoleh emas yang tidak terkira banyaknya, hingga menyilaukan mata ratu  Sceba (Mansoer. 1970: 77).
Terkait dengan cerita Siti Bulqis dan Nabi Suleman di atas; Mansoer (1970) mejelaskan bahwa Kerajaan-kerajaan Budha (Hinayana) yang kemudian timbul dan berkembang di Minangkabau Timur ialah pusat-puat perdaganagan lada. Melayu (Tua) dengan Muara Tembesi sebagai bandar utamanya di sebelah Utara dan Sriwidjaja (Tua) dengan Muara Sabak (Djambi) sebagai bandar utama sebelah Selatan. Budha (Hinayana) inilah yang dikunjungi I-tsing, pendeta Budha dari Tjina, dalam perjalanannya ke India (671) dan pulang kembali ke negerinya (685). Muaro Sabak yang dalam pemberitaan Arab disebut ”Zabag”; orang Arab mentranskribir ”sriwidjaja” sebagai sribusa (MD. Mansoer.1970: 43).[4]
Terkait dengan apa yang dikatakan Mansoer dan cerita yang dipetik dari hasil wawancara di atas, dapat dikatakan bahwa Muaro Sabak (Arab: Zeba) dapat dijadikan sebagai fakta sejarah telah terjadi kontak dagang dengan negera Timur Tengah. Pelabuhan Sabak (Arab: Zeba) memberikan indikasi bahwa kontak perdagangan dengan antara Yaman dan Minangkabau Timur sudah ada. Pelabuhan Sabak dibaca sebagai tanda bahwa yang melakukan perdagangan itu adalah orang-orang dari negeri Ratu Zeba (Minangkabau: Ratu Sabak).
Menurut M.D. Mansoer (1970) bangsa pertama yang datang dan berdiam di Minangkabau adalah bangsa Austronesia (Melayu-Polonesia) atau Melayu Tua yang datang secara bergelombang dari daratan Asia Tenggara dalam ikatan keluarga, dengan menggunakan perahu bercadik hasil kebudayaan khas Austronesia. Kedatangan mereka diperkirakan semenjak tahun 2000 S.M. (MD. Mansoer.1970: 28). Mereka adalah pendukung kebudayaan neolitikum (zaman batu baru), dengan ciri utama pertanian dan peternakan sederhana dan menganut adat matrilineal (Mansoer. 1970. 31). Wanita adalah lambang kesuburan dan produksi, dan merupakan unsur masyarakat yang tetap tinggal di rumah (kampung). Karena itu kaum wanita memegang peran penting dalam ikatan kekeluargaan dalam kampung (Mansoer. 1970: 31).
Hasil peninggalan kebudayaan neolitkum berupa perkakas sederhana yang terbuat dari batu, seperti mata tombak, pisau dan lain-lain yang ditemukan di beberapa gua di Jambi Hulu dan sekitar danau Kerinci. Di samping peniggalan-peninggalan itu, di sekitar danau Kerinci juga ditemukan pecahan-pecahan periuk dari tembikar.
Zaman perunggu, dari kurang lebih 300 S.M. Pengenalan benda-benda perunggu dari daratan Asia Tenggara serta perkembangan keterampilan peleburan logam menandai masa ini. Terkait dengan itu, A.A. Navis (1984) menjelakskan sebagai berikut.
Dapat dikatakan bahwa Minangkabau telah didiami oleh pendukung kebudayaan perunggu, yaitu bangsa Melayu-muda (proto-Malay) semenjak tahun 300 S.M. Mereka juga datang secara bergelombang dengan membawa keluarga dan kebudayaan mereka, dibuktikan dengan ditemukannya bejana perunggu berbentuk periuk besar di daerah Kerinci. Bejana perunggu yang ditemukan di daerah Kerinci itu mempunyai motif hiasan spiral yang umum dijumpai di Asia Tenggara pada waktu itu. Di daerah Bangkinang Pen; Kab. Kampar, Riau) juga ditemukan peninggalan kebudayaan perunggu berupa arca-arca kecil dan beberapa jenis barang-barang lain, yang belum diketahui kegunaannya. Lukisan yang terdapat pada bejana perunggu (mekara) di duga ada hubungannya dengan kebudayaan Dong-son (A.A. Navis. 1984: 2).

Percampuran anatara Melayu-tua dan Melayu-muda itu merupakan keturunan nenek moyang suku bangsa Minangkabau (Mansoer.1970: 32). Menurut catatan sejarah, nenek moyang suku bangsa Minangkabau datang dari India Belakang (Indocina). Mereka datang secara bergelombang dengan membawa seluruh kebudayaannya, yaitu pada zaman perunggu, sekitar tahun 300 SM, sepert dikatakan A.A. Navis pada bagian sebelumnya. Menurut Kartomi (1980) dalam artikelnya ”Musical Strata in Sumatera”. Java and Bali menyatakan bahwa para pengrajin perunggu (yang handal) dari Tonkin datang ke Minangkabau beberapa abad sebelum Masehi (Margaret J. Kartomi. 1980: 114). Penulis menduga pada zaman perunggu inilah gong dan talempong di bawa oleh nenek moyang orang Minangkabau. Seperti mengutip kembali apa yang diikatakan Mantle Hood (1958) sebelumnya bahwa  salah satu musik tradisional dari logam (metallophone), yang tersebar di kawasan Asia Tenggara; di antaranya disebutkan di wilayah kultur Minangkabau; masyarakatnya meyebutnya talempong. Terkait dengan apa yang dikemukakan Mantle Hood; Anthony Reid mengatakan bahwa biasanya alat musik ini dimainkan oleh kaum pria di luar rumah; di bagian Sumatera, para musisi wanita menangani orkestra ini yang umumnya ditemukan di wilayah tersebut (Anthony Reid. 2011: 249).
Berdasarkan apa yang dikemukakan para ahli pada bagian sebelumnya; perkembangan budaya perunggu di Asia Tenggara, dapat dikatakan bahwa pada zaman perunggu sebagaimana dimaksud dalam periodeisasi sejarah, merupakan awal masuknya kebudayaan perunggu ke Minangkabau; termasuk salah satu di antaranya ensambel talempong jinjiang yang sebagiannya ada yang terbuat dari perunggu. Menurut Mahdi Bahar (2009) bahwa bagi pendahulu masyarakat Minangkabu tampak; pada satu sisi mereka merupakan masyarakat pendukung kebudayaan  (nekara) perunggu  Dong Son dan pada sisi lain telah mampu mengolah perunggu sendiri (Mahdi Bahar. 2009: 43). Artinya talempong jinjiang yang dimiliki masyarakat Minangkabau sekarang ada yang terbuat dari perunggu dan ada terbuat bukan dari perunggu.
II.            Persebaran Agama-agama India
Sebelum kedatangan bangsa Barat; Mestika Zet (2002) bahwa kawasan ”Mo-lo-yeou” (Melayu) atau Bumi Melayu. Kerajaan Melayu pertama, yaitu kerajaan maritim Sriwijaya (abad ke 7-13 M) yang menjadi pusat peradaban Hindu-Budha (Mestika Zet. 2002: 253). Menurut M. Nur (2002) mengatakan  bahwa kerajaan Melayu yang pernah berpusat di sekitar Jambi, di hulu sungai Batang Hari dikenal sebagai Dharmasraya, adalah kerajaan Melayu Tua yang beragama Budha (Hinayana), yang terletak di perbatasan Minangkabau dan Jambi. Menurut Rouffaer dan Kern, kerajaan ini pernah disinggahi oleh I-Tsing pada abad ke-7 selama dua bulan dalam perjalannya dari Cina ke India via Palembang (M. Nur. 2002; 55).
Menurut Zusneli Zubir (2002) bahwa keberadaan kerajaan Minangabau yang terletak di hulu DAS Batang Hari memiliki hubungan erat dengan perjalan kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Bukti-bukti peninggalan budaya yang ada di sepanjang DAS Batang Hari membuktikan adanya kaitan antara kedua kerajaan tersebut, seperti pemukiman kuno, candi, area prasasti, keramik dan temuan lainnya; bahkan sampai ke pedalaman Minangkabau. Peninggalan-peninggalan itu memiliki kaitan erat dengan perkembangan kerajaan Minangkkabau (Zusneli Zubir. 2002: 65).
Peninggalan budaya berbentuk arca ditemukan di Muaro Jambi, Rantau Kapas Tuo, Betung Berdarah, Tanah Periuk, Kuala Tungkal, Rantau Limau Manis, Solok Sipin, dan Teluk Kuali. Arca tersebut adalah Awalokiteswara perunggu arca Budha batu, potongan arca Budha, arca Budha Perunggu, arca Patmapani, arca Ganesha batu, dan arca Dipalaksmi, arca Aksobya perunggu, arca Nadi, arca Makara batu dan arca Prajnaparamita. Peninggalan arca yang di DAS Batang Hari bagian hilir diperkirkan berasal dari abad ke-6 Masehi yang ditemukan di Situs Solok Sipin Kota Jambi (Zusneli Zubir. 2002: 67).
Terkait dengan apa yang dikatakan Zusneli Zubir di atas; hasil dari kebudayan perunggu juga ditemui dalam bentuk arca Budha. Namun peninggalan-peninggalan itu tidak bercerita tentang alat musik perunggu, seperti gong dan  talempong. Itu dapat dipahami bahwa alat musik talempong dan gong sudah ada sebelum abad ke 6 dan abad atau ke-7 seperti dikatakan Anthony Reid pada bagian sebelumnya. Namun pada abad ke-7 itu, kebudayaan perunggu muncul lagi pada kerjaan Melayu Tua dan beragama Budha.
Peninggalan budaya yang ada di sepanjang hulu DAS Batang Hari yang masih dalam kawasan Propinsi Sumatera Barat, khususnya wilayah Kab. Sawah Lunto Sijunjuang; sebagiannya sekarang menjadi Kab. Darmasraya, meliputi daerah Padang Laweh, Padang Roco, Sungai Langsek, Pulau Sawah, Rambahan dan Lubuak Bulan. Di Candi Padang Roco, Candi Pulau Sawah dan Candi Rawamangambe ditemukan dua arca, yaitu arca Bhairawa dan arca Amoghapasa. Terkait dengan penemuan itu Zusneli Zubir (2002) mengatakan sebagai berikut.
Arca Bhairawa dari Sungai Langsek, memiliki tinggi 4.41 meter berdiri di atas mayat, arca ini dibuat semasa Akarendraman. Arca ini dipandang sebagai lambang yang harus melindungi negara Adhitiawarman terhadap penyebaran agama Islam. Arca Amoghapasa berangka tahun 1286 Masehi, memilki prasasti di bagian bawah dan belakangnya. Prasasti yang berada di bawah (lapik) arca ini dikenal dengan prasasti Amoghapasa yang dikeluarkan oleh Kartanegara dari kerjaan Singosari untuk ditempatkan di Dharmasraya. Prasasti ini tidak dipisahkan dengan ekspedisi Pamalayu. Menurut sumber sejarak Indonesia Kuno, khususnya Kitab Pararaton dan Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa tahun 1275 Masehi, raja Kertanegara mengirim tentaranya ke Melayu. Pengiriman pasukan ini dikenal dengan sebutan Pamalayu. Maksud dari ekspedisi ini menjalin persahabatan antara Singosari dari (Jawa) dengan Melayu Suvarnabumi (Sumatera) untuk sama-sama menahan ekspansi Kaisar Kublai Khan dari Cina (Zusneli Zubir. 2002: 69).

Untuk mempererat persahabatan kedua kerajaan tersebut; Kartanegara mengirim arca Amoghapasa pada tahun 1286 Masehi kepada raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa yang berkuasa di Melayu Suvarnabhumi. Raja Melayu menyerahkan dua orang putrinya Dara Petak dan Dara Jingga. Kedua putri ini dikawani oleh bangsawan Majapahit. Dara Petak dikawini oleh Raden Wijaya, Dara Jingga dikawini Dewa. Dara jingga memiliki anak bernama Adytiawarman (Zusneli Zubir. 2002: 69).[5]
Terkait dengan apa yang dikatakan Zusneli Zubir  di atas, Chritine Dobbin (1992) mengatakan bahwa lambat laun pengaruh India makin bergerak ke barat; masuk ke Tanah Datar dan berkembanglah sistim ”raja-raja” di dekat wilayah penghasil emas utama. Perkembangan ini terhenti dengan munculnya keluarga Keraton Majapahit dari Jawa di Tanah Datar pada tahun 1347, yaitu Adytiawrman; keturunan Jawa-Sumatera yang dibesarkan di Keraton Majapahit (Chritine Dobbin. 1992: 71) Selanjutnya Dobbin (1992) menjelaskan sebagai berikut.
Adytiawarman datang di Sumatera pada tahun 1347-an untuk menguasai daerah pengekspor emas Dharmasraya di hulu sungai Batang Hari, yang diberikan sebagai upeti kepada pendahulu Majapahit di Jawa pada tahun 1270-an. Prasasti tahun 1347 menunjukan bahwa Adytiawarman melepaskan janji setianya kepada Majapahit dan pindah ke Tanah Datar Tengah melalui sungai Indragiri dan daerah Buo, dan di daerah di sekitar Bukit Gombak dan Saruaso, dia mendirikan kerajaan yang diketahui dari banyak prasasti peninggalannya. Di sini ia memberi gelar kepada dirinya Maharajadiraja dan  Kanakamedinindra, yaitu ”yang berdaulat di atas tanah yang mengandung emas” (Chritine Dobbin. 1992: 71).

Berakhirnya kekuasan Adytiawarman; menurut Dobbin (1992), keluarga raja tidak dapat memunculkan pemimpin seperti dia; dan keluaga raja semakin terdesak ke belakang oleh tokoh-tokoh yang lebih kuat. Menurut prasasti tahun 1347, Adytiawarman mempunyai seorang patih atau menteri utama yang sangat penting peranannya dalam memasuki Tanah Datar. Prasasti juga menyebutkan pejabat tinggi lain; termasuk seorang temennggung. Mulai dari sini, sejarah Minangkabau memasuki wilayah tradisi lisan. Tradisi ini secara konsisten menyebutkan dua petugas hukum, Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan, yang menurut legenda, bertengkar lalu menetapkan dua sistem hukum yang berbeda bagi Minangkabau, dan setiap desa wajib mengikuti salah satu sistem (Chritine Dobbin. 1992: 72). Selanjutnya Dobbin menjelaskan.
Rupanya memang banyak pejabat tinggi negera yang bertengkar sesudah wafatnya Adytiawarman, bahkan ada perang saudara antara pengikut patih dan temenggung. Pengikut temenggung sepakat dengan kelaurga raja, dengan hieraki dalam pemerintahan desa, dan dengan perdagangan emas dan perlunya pengaturan baik produksi mapun jalur-jalurnya ke pantai. Pengikut patih lebih menyamakan diri mereka dengan Minangkabau sebelum Jawanisasi, dengan sistem matrilineal. Setelah pertengkaran diselesaikan, terdapat dua kubu di Tanah Datar, masing-masing memberlakukan tradisi hukum yang berlainan, yang disebut lareh (laras). Lima Kaum merupakan titik pusat bagi semua desa sesuai dengan tradisi yang diletakan oleh para pengikut patih, yang dikenal dengan Kalarasan Bodi Caniago. Sedangkan Sungai Tarab menjadi titik pusat tradisi saingannya, yang dikenal dengan Kalarasan Koto Piliang; desa-desa emas yang utama dan desa-desa di jalur ekspor mengikuti sistem yang terkahir ini, dan Koto piliang dikenal dengan tradisi hukum bagi wilayah ”dimana dagang ke luar dan masuk, dimana pedagang menjual dan membeli (Chritine Dobbin. 1992: 72).

Dengan berakhirnya kekuasan Adytiawarman tahun 1375; mulai dari situ muncul dua orang tokoh legendaris dalam tradisi politik-hukum dan melahirkan dua sistem politik hukum yang kemudian mempengaruhi kehidupan masyarakat Minangkabau, baik dari segi sistem kepemimpinan, arsitektur rumah adat, struktur masyarakat, pembagian nama nagari dengan hitungan genap dan ganjil dan lain-lain. Antara keduanya; karena diawali dengan pertentangan dalam memperebutkan kekuasan dan perdagangan emas; sampai sekarang kebudayaan Minangakabu diwarnai dengan dikotomi dan konflik. Masuknya Islam, konflik semakin bertambah; bahkan menimbulkan perang saudara, dan kemudian terkanal dengan perang Padri (1821-1837).
Di akhir kekuasaan raja Adytiawarman di Minangkabau; kebudayan musik  –gong dan talempong— menjadi simbol, prestise dan  kebesaran dari raja-raja. Pada titik ini Antony Reid (1995) dalam Mahdi Bahar (2009) mengatakan bahwa pada tahun 1550-an musik perunggu menggunakan ketle-drums, yaitu alat musik idiofon terbuat dari metal; yang diyakini adalah talempong merupakan musik dari tradisi kerajaan Minangkabau; disertainya keberangkatan raja bersama rombongan dengan iringan musik talempong tatkala menenui orang Portugis di pantai Tiku (Mahdi Bahar. 2009: 116).

III.           Penyebaran Islam
Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perkembangan politik Islam di Timur Tengah; dengan berkahirnya empat khalifah uatama; Abubakar Sidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abitalib. Umat Islam mulai terpecah-pecah ke dalam kekuasan-kekuasan politik, seperti masa Abaisyah dan Bani ummayyah, dan selanjutnya berkembang menjadi mazhab-mazhab, seperti maliki, hanafi, hambali, dan syafei. Pada periode berikutnya juga muncul dalam bentuk ordo tarekat yang mengamalkan ajaran tasauf. Inilah yang mewarnai kehidupan beragama di Nusanatara; tentunya juga dalam masyarakat Minangkabau; termasuk paham-paham modernis yang berasal dari pengaaruh wahabi yang berkblat pada imam Hambali.
Islam dalam masyarakat Minangkabau diwarnai oleh praktek-praktek tasauf yang terorganisasi dalam berbagai lairan terekat, yaitu: (1) tarekat Syattariyah; (2) tarekat Naqsyabandiyah; (3) tarekat Rifa’iyah; dan (4) tarekat Samaniyah).  Meurut Van Rongkel dalam Taufik Abdullah (1977)  mengatakan bahwa  Tarekat Syattariyah masuk ke Indonesia (Aceh, Sumatera) sekitar tahun 1665 di bawah pegaruh Abdur Rauf Singkel (w 1694). Kemudian syeikh Burhanuddin murid kepercayaannya membawa tarekat ini ke daerah Pariaman di Minangkabau. Sebagai pembawa tarekat Syattariyah pertama ke Minagkabau, lahir pada tahun 1646, dan meninggal pada tahun 1693 di Ulakan, Pariaman yang bertepatan degan bulan Syafar 1111 Hijriyah. Tarekat ini sebelumya berkembag di Gujarat (India bagian selatan) yang megandung unsur-usur mistik (Taufik Abdullah. 1977: 112).
Tarekat Naqsyabandiyah; menurut Schirieke dalam Burhanuddin (1995) Islam dengan tarekat Naqsyabandiyah masuk ke Minangkabau kira-kira tahun 1850 dan sekaligus mendapat tantangan dari kelompok Syattariyah. Adapun daerah penyebaranya lebih merata di Padang Darat (baca: Luhak Nan Tigo), jika dibanding dengan Syattariyah yang lebih subur di daerah pesisir (Burhanuddin Daya, 1995: 185).
Dari aspek sejarah; sehubungan dengan masuknya agama Islam ke Minangkabau seperti dikemukakan Schirieke bertentangan dengan apa yang dikemukakan Azyumi Ardi Azra. Menurut Azyumi Ardi Azra (1989) mengatakan bahwa Islam di Sumatera dapat dilacak semenjak munculnya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13. Selain dari itu, pada saat Marcopolo berkunjung ke Kerajaan Perlak pada tahun 1292, menyatakan bahwa kerajaan Perlak sudah memeluk agama Islam, dari tempat-tempat inilah diperkirakan Islam menyebar ke seluruh Nusantara, termasuk Minangkabau (Azyumardi Azra, 1989: XI). Mungkin yang dimaksud Azyumi Azra adalah Minangkabau Timur seperti dikatakan MD Mansoer pada bagian sebelumnya
Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama Islam aliran tarekat Syattariyah memang diperkenalkan oleh Syeh Burhanuddin. Namun untuk Islam dengan aliran tarekat Naqsyabandiyah, kita bisa memahami apa yang dikemukakan Azumiardi Azra. Dalam konteks yang demikian ada baiknya disimak apa yang dikemukakan Christine Dobbin (1992) bahwa agama Islam dengan tarekat Naqsyabandiyah masuk ke Minangkabau agak lebih awal dari tarekat Syattariyah, dan menonjol di daerah Padang Darat (Luhak Nan Tigo) (Christine Dobbin, 1995: 46).
 Argumentasi yang dikemukan Dobbin di atas diperkuat oleh William Marden ketika berkunjung ke Minangkabau pada tahun 1779 menyatakan bahwa penduduk Minangkabau darek (Luhak Nan Tigo) telah sepenuhnya memeluk agama Islam. Namun tidak berarti bahwa tahayul, dan praktek-praktek yang tidak Islami lainnya sudah lenyap. Kecuali para pemimpin agama, mereka orang-orang Islam Minangkabau pada umumnya jarang melaksanakan kewajiban agama, seperti syalat, puasa, dan datang ke mesjid-mesjid (William Marsden, 1998: 346).
Terkait dengan apa yang dikemukakan Marseden; Martin van Bruinessen (1996) menjelaskan bahwa keberadaan tarekat Naqsyabadiyah di Sumatera Barat; atau lebih tepatnya dataran tinggi Minangkabau, merupakan wilayah yang penganut Naqsyabandiyah-nya paling padat, seperti di Cangkiang (Kec. IV Angkek Canduang), Kab. Agam (Martin van Bruinessen, 1996: 124).
Tarekat Rifaiyah; menurut Burhanuddin Daya (1995) bahwa tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Ahmad Rifa’i (1106—1182) di Bagdad. Mulanya hanya sebagai cabang dari tarekat Kadariyah. Tetapi kemudian berdiri sendiri dengan ajaran dan amalannya yang esktrem dan bercorak sihir, seperti debus, berkalung rantai besi yang sedang merah terbakar, makan pecahan kaca, menikam dengan senjata tajam, tidur di atas balok kayu yang ditusuki paku dan sebagainya yang terkait dengan kekebalan (Burhanuddin Daya, 1995: 1995: 91). Sejalan dengan itu, Muhammad Nur (1991) menyatakan  bahwa tarekat Rifa’iyah masuk ke Minangkabau melalui Aceh, dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau yang pernah belajar di Aceh. Tarekat ini di Aceh dengan sebutan Rifa’i, yang diambil dari nama pendirinya bernama Ahmad Rifa’i. Aliran tarekat ini di Minangkabau menghasilkan suatu kesenian rakyat yang disebut dabuih (debus), menikam diri dengan senjata tajam dan diiringi dengan zikir-zikir tertentu oleh pengikutnya (Muhammad Nur (1991: 30)).
Hal senada juga dikatakan oleh Abu Bakar Aceh (1963) bahwa pengikut tarekat Rifa’iyah yang telah dianggap sempurna dan keramat diberi oleh Allah SWT bermacam-macam keajaiban kepadanya. Keajaiban itu diantaranya kebal terhadap senjata tajam, tidak terbakar karena api, dan sebagainya. Menurut mereka, keajaiaban yang diperoleh adalah karena bantuan dari Ahmad Rifa’I (Abu Bakar Aceh (1963: 335).
Tarekat Samaniyah; menurut Abuebakar Aceh (1963) tarekat Samaniyah didirikan oleh Muhammad Saman. Beliau adalah seorang mursyid tarekat yang ternama di Madinah. Ciri-ciri tarekat Samaniyah adalah zikir keras dengan suara yang melingking dari pengikutnya. Ratib dalam tarekat ini terkenal dengan hanya mempergunakan perkataan Hua artinya Dia Allah SWT (Abuebakar Aceh, 1963: 555 ). Tarekat Samaniyah mempunyai suatu kepercayaan bahwa bagi orang yang menyerukan nama Muhammad saman sebanyak tiga kali akan hilang kesusahannya baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang memakan sisa makanan dan minuman Muhammad Saman akan masuk sorga, dan bagi yang memasuki langgranya akan diampuni Allah SWT segala dosanya (Abuebakar Aceh.354).
Masuknya aliran tarekat Saman ke Minangkabau tidak dapat diketahui dengan pasti. Kemungkian tarekat ini dibawa oleh ulama Minangkabau seperti ajaran lainnya. Akan tetapi tari Seudati tidak berkembang di Minangkabau. Kadang-kadang aliran Samaniyah dan Rifa’iyah muncul dalam bentuk singkretisme dalam masyarakat Minangkabau, karena kedua ajaran ini sama-sama diamalkan oleh para pengikutnya.
Dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, pembicaraan antara seni dan agama hampir selalu terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan yang sengit dalam berbagai kesempatan. Tentunya persoalan ini tidak lepas dari konflik yang terjadi antara “kaum adat” dan “kaum agama” yang melanda masyarakat Minangkabau. Muncul pertentangan dalam masyarakat Minangkabau dipicu oleh gerakan kuam wahabi (pertengahan abad ke-18) yang melancarkan”revolusi” agama Islam di tanah Arab dengan tujuan membersihakan praktek-praktek agama dari pengaruh bid’ah56 dan dikembalikan kepada kemurnian ajaran Islam. Hasil dari gerakan kaum wahabi sangat luas jangkauan pengaruhnya. Gibb (1995) mengatakan bahwa pengaruh gerakan Wahabi sangat menggoncangkan kesadaran kaum muslimin, karena kekerasan dan ketidak-toleransian yang diperlihatkannya. Sikap tidak toleran tersebut, tidak hanya ditujukan terhadap penyembahan para wali, dan kuruan yang dianggap keramat, tetapi juga terhadap peribadatan-peribadatan dan mazhap-mazhap ortodoks yang sudah diterima umat (H.A.R. Gibb, 1995: 45). Selanjutnya Gibb menjelaskan sebagai berikut.
...kelompok aliran pembaharuan yang disemangai oleh gerakan wahabi tersebut, di Sumatera terlihat pada timbulnya kelompok Padri di Minangkabau. Dalam gerakannya, kelompok yang disebut kaum padri itu tidak mengenal kompromi, perbuatan radikal menjadi ciri utama dari gerakan ini (Gibb. 1995: 45).

Kondisi seperti digambarkan Gibb di atas membentuk masyarakat Minangkabau dalam dua kubu yang bertentangan dalam garis demarkasi yang sangat semu. Dikatakan demikian, kedua kaum sebagaimana dimaksud pada prinsipnya sama-sama beradat dan sama-sama beragama dan sama-sama satu keturuan. Penyelesaian persoalan konflik ini bermuara pada suatu perjanjian yang dikenal dengan sebutan Perjanjian Bukik Marapalam tahun 1837; yang melahirkan deklarasi politik yang terkenal dengan Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabbullah.
 Akibat dari persoalan konflik tersebut, imbasnya dapat dilihat dalam kebudayan dan kesenian dalam masyarakat Minangkabau.59 Kesenian –seni-- dalam masyarakat Minangkabau dibedakan dalam dua kubu, yaitu seni yang bernafaskan Islam yang bersumber dari kebudayan-kebudayan Islam dari berbagi sumber. Sementara itu, seni-seni yang tumbuh sebelum kedatangan agama Islam digolongkan ke dalam kelompok seni yang lebih bersifat ke-Minangkabau-an, seperti pertujukan Saluang, Randai dan berbagai jenis kesenian talempong; tentunya juga telempong jinjiang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara seni yang bernafaskan ke-Islam-an dan seni yang “berlabel” produk adat masih berada dalam garis demarkasi; apabila salah satu melewati garis tersebut, bukan tidak mungkin konflik akan muncul dalam masyarakat yang bersangkutan; talempng jinjiang tidak akan pernah masuk Mesjid. Namun dalam batas-batas tertentu, kedua corak seni yang berbeda secara geneologis ini dalam masyarakat Minangkabau, kondisinya sudah mulai mencair, walaupun belum sepenuhnya menyatu walaupun tidak mungkin dipersatukan. Namun yang pasti, pada saat ini masyarakat Minangkabau merasa bangga dengan kebudayaan mereka, dan termsuk berbagai pertujukan seni yang mereka miliki; termasuk talempong jnjiang, setidaknya untuk menyatakan bahwa mereka adalah orang Minangkabau.
Masa Islam di Minangkabau itu adalah masa-masa yang penuh dengan ketegangan dan konflik bahkan sampai memicu munculnya perang terbuka, baik anatara Tarekat Syattariyah dengan Naqsyabandiyah maupun dengan paham Wahabi yang sangat menggoncangkan dan memporak-porandakan kehidupan masyarakat Minangkabau. Munculnya perang Padri dari tahun 1821-1837 merupakan puncak dari konflik yang berkepanjangan di Minangkabau. Jadi, semenjak berakhirnya kekuasan Adytawarman (1347) sampai masuknya Islam ke Minangkabau; dan kemudian di sambung dengan pengaruh ekspansi Eropah—terutama Belanda dan Inggris, konflik selalu mewarnai kehidupan masyarakatnya. Dalam masa itu, kesenian talempong (keluarga Gong), khusunya talempong jinjiang yang lazim dipakai untuk upacara pengakatan Datuak di Minangkabau tidak muncul kepermukaan. Susana tidak memungkinkan melakukan upcara pengangkatan Datuak; masyarakat disibukan dengan konflik dan perang. Namun sebagai bagian dari system kebudayaan mereka, music perunggu itu; talempong jinjiang masih ada sampai sekrang dan digunakan dalam upacara pengangkatan Datuak di Minangkabau. Inilah yang dikatakan Mahdi Bahar (2009) bahwa kedekatan musik perunggu, khususnya talempong, dengan raja –institusi adat—atau ‘penguasa’di Minangkabau masih ada sampai saat ini, terutama kaitannya dengan institusi penghulu –adat; diperlukannya ensambel music tersebut untuk kelengkapan upacara pengangkatan pengulu (Mahdi Bahar. 2009: 116).
Akibat perang yang berkepanjangan itu, banyak gelar-gelar pusaka -- Datuak yang di lipat (disimpan), karena tidak sempat diganti pada masa itu. Setelah Indonesia merdeka; dan semenjak tahun 1970-an banyak gelar-gelar pusaka (Datuak) yang dilipat itu dimunculkan kembali oleh kaum atau suku yang bersangkutan. Dan pada saat ini, tidak semua persukuan di Minangkabau  mempunyai gong dan talempong; karena masa-masa konflik yang berkepanjangan, alat music ini banyak yang tidak terurus, hilang bahkan ada yang disimpan dalam lumpur dan akhirnya tidak bisa dikenali lagi. Sejalan dengan stablitas politik sesudah kemerdekaan; muncul kembali kesadaran akan memiliki perangkat alat music talempong berserta kelengkapannya.
IV.          Penetrasi dan Ekspansi Perdagangan dan Politik Eropa


V.           Republik Indonesia Merdeka -1945 Hingga Sekarang
DAFTAR PUSTAKA
Claire Holt. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Mahdi Bahar. 2009. Musik Perunggu Nusantara Perkembangan Budayanya Di Minangkabau. Bandung: Sunan Ambu STSI Press.

Mantle, Hood. 1958. Javanese Gamelan in The World of Music; Yogyakarta. Kedaulatan Rakyat.

Mansoer, M.D. dkk, 1970: Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bratara.

A.   A. Navis. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.

Margaret J. Kartomi. 1980. ”Musical Strata in Sumatera”. Java and Bali”. Dalam E. May (ed.). Music of Many Culture. Berkeley and Lost Anggeles: University of California Press.

 Anthony, Reid. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor.

Banoe, Pono, 2003.  Kamus Istilah Musik. Jakarta: C.V. Baru.  

Soeharto, M,  1978. Kamus Musik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Setyawati Suleman. 1979. Monumen of Acient Sumatera. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Mestika Zet. 2002. ”Menggagas Zona Ekonomi Dunia Melayu: Beberapa Catatan Berdasarkan Telaah Sejarah”. dalam Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonnesia.

M. Nur. 2002. ”Dinamika Melayu Di Mata Penulis Asing”. dalam Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonnesia.

Zusneli Zubir. 2002. ”Peninggalan Budaya Melayu Pada Zaman Klasik Di Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari: Keterkaitan Kerajaan Minangkabau Dengan Kerajaan Melayu”. dalam Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonnesia.

Chritine Dobbin. 1992. Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847. Jakarta: Innis.
DAFTAR PUSTAKA

Taufik Abdullah. 1977. “Adat dan islam Suatu Tinjauan tentang Konflik di Minangkabau”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia. Jakarta:  Pustaka Firdaus.

Burhanuddin Daya. 1995. Gerakan Pembaharauan Pemikiran Islam; Kasus Suamatera Tawalib, PT. Tiaara Wacana, Yogyakarta.

Azyumardi Azra. 1989.  Perspektif Islam Di Asia Tenggara. Jakarta:  Yayasan Obor Indonesia.

Dobbin, Christine, 1992, Kebangkita Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah,Innis, Jakarta.

William Marsden, 1811, The History of Sumatera. London: Logman.

Martin van Bruinessen. 1996.  Tarekat Naqsyandiyah Di Indonesia. Bandung:  Mizan.

Muhammad Nur. 1991. “Gerakan Kaum Sufi Di Minangkabau Awal Abad Ke-20”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Aboebakar Aceh. 1963.  Pengantar Ilmu Tarekat Uraian Tentang Mistik. Jakarta: Ramadhani.



[1] Talempong jinjiang atau renjeang  adalah istilah yang  umum dipakai oleh masyarakat pedesaan Minangkabau untuk menyebut permainan  instrument music talempong.
[2]Istilah talempong pacik digunakan oleh kalangan akademisi --ASKI Padangpanjang-- untuk membedakan dengan telempong rea. Penamaan talempong pacik didasarkan pada posisi talempong waktu dimainkan. Karena cara memainkan alat tersebut dengan cara dipegang (pacik) dengan tangan. Istilah talemong pacik yang sekarang berkembang luas pada masyarakat kota.
[3] Z. Diraja Dt. Bijo Dirajo. 2011. Wawancara di Kab. Agam; ia adalah tokoh masyarakat yang menceritakan kisah Nabi Sulaman dan Siti Bbulqis (Ratu Sabak: The Quin of  Zeba).
[4] Lihat juga D.G.E. Hall. (1988: 40-54). Sejarah Asia Tenggara. Edisi Indonesia. Surabaya: Usaha nasional.
[5] Bandingkan dengan Dada Meuraxa. (1974: 382-383). Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan—Jaakarta--Ujung Pandang: Penerbit Firma “Hasmar”.
56 Bid’ah adalah sesuatu yang berkaitan dengan pengamalan agama Islamyangtidak didukung oleh dalil-dalil Al-Qur’an ataupun hadis, seperti upacara rakyat di kuburan para wali yang dianggap keramat.
59 Persoalan konflik adat dan agama serta dampaknya terhadap kebudayan dan kesenian di Minangkabau, lihat Andar Indra Sastra, 1999, “Bagurau dalam Basaluang: Cerminan Budaya Konflik”, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogakarta.

talempong minangkabau

PENDEKATAN FILSAFAT SENI TERHADAP
RELIGI Dan KEBUDAYAAN MUSIKAL TALEMPONG JINJIANG MINANGKABAU

 

 

 

 

 

 

 

 

                    



Diserahakan sebagai salah satu syarat
 dalam mata kuliah Filsafat Seni





Andar Indra Sastra

     


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2011

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fisafat seni merupakan dua suku kata yang keduanya mempunyai keterkaitan dari sudut pandang pengetahuan. Menurut Dharsono (2007) mengatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan yang senantiasa bertanaya dan mencoba menjawab persoalan-persoalan yang sangat menarik perhatian manusia; di antaranya adalah estetika, artinya filsafat yang membicarakan keindahan – seni (Dharsono. 2007: 4). Dapat dipahami bahwa filsafat seni adalah pengetahuan yang selalu mempertanyakan masalah seni dalam konteks kehidupan masyarakat; dalam hal ini adalah masyaraat Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau dalam konteks seni dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) seni di bawah kendali adat istiadat Minangkabau; dan (2) seni dibawah kendali keagamaan atau religi. Secara filosofi keduanya mempunyai fungsi yang berbeda; makanya tambahan judul dalam tulisan ini, setelah filsafat seni dikaitakan dengan religi dan kebudayaan musical talempong jinjiang. Itu artinya mencerminkan bahwa kedua seni (seni “adat” dan seni “agamais”) itu akan menjadi kajian dalam tulisan ini; filsafat seni.
Seni adalah bagian dari kebudayaan dan tak terlepas dari kehidupan masyarakatnya; bisa jadi ia muncul pada kegiatan ritual, upacara, kebutuhan religi dan berbagai aktivitas kehidupan masyarakat dalam kepentingan yang berbeda-beda. Bahwa seni dengan segala bentuknya mempunyai arti dan peran penting dalam kehidupan manusia dan ia dapat dibaca sebagai ekspresi budaya –kebudayaan-- masyarakat pendukungnya. Menurut Dharsono (2011); memahami kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai dan symbol yang diajdikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Pengertian kebudayaan itu memberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi berupa hasil gagasan, dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya. Artefak seni yang lahir di bumi Nusantara merupakan ekspresi kebudayaan masyarakatnya dengan segala falsafah yang melatarbelakanginya ((Dharsono (Soni Kartika). 2011: 1).
Munculnya konsep Nunsantara sebagai padanan filsafat Barat --modern; merupakan sebuah gagasan besar dan sekaligus sebagai tantangan untuk membuktikan bahwa kiblat filsafat itu tidak mesti ke Barat –modern. Prinsip keduanya mempunyai filosofi yang berbeda dan kepentingan yang berbeda. Filsafat modern yang dilatarbelakangi pemikiran positifisme; akan melahirkan ego manusia (akal) sebagai hasil ciptaannya; sementara filsafat Timur –Nusantara, mecerminkan kolektivitas (fenomenologis). Demikian pula dalam hubungannya dengan kehidupan rohani; Dharsono (2011) mengatakan berikut ini.
Dalam kehidupan rohani, yang menjadi dasar dan memberi isi kebudayaan Nusantara –Jawa—benar-benar didapatkan usaha untuk mencari dasar awal segala sesuatu, renungan tentang apa yang terdapat di belakang segala wujud lahir, dan pencarian sebab terdalam dari padanya, yaitu penncarian tentang ”arti hidup manusia, asal mula, dan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi); dan juga hubungan antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta”. Filsafat dapat diartikan sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakekad segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar (Dharsono. 2011: 2).

Dari aspek religi; metode perenungan seperti dikatakan Dharsono di atas merupakan gambaran dasar untuk mencapai sesuatu kebeneran atau untuk menangkap cahya Illahi (khalawat, suluk dalam tasauf; Islam), semedi (Hindu), roh kudus (sekte Kristen), Tao (Cina).  Metode perenungan seperti itu dijadikan sebagai dasar filosofis untuk mewujudkan sesuatu –menginginkan sesuatu; termasuk karya cipta seni. Hal itu dipahami oleh para pengikut ajaran mistik; sebagai tranprormasi spiritual dari kesatuan maujud antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaannya. Jadi pengalaman essoteric sebagai pendalam makna dalam kehidupan memberikan pencerhan batin atas keterpesonaannya. Metode perenungan itu, dapat diperbandingkan dengan ragam  budaya Nusantara; Di Jawa dengan latar belakang pengaruh budaya Hindu dan Islam, menjadi singkretisme. Di Minangkabau; adat dengan Islam mencerminkan proses dialektis-dikotoms dan sintesis; dan bahkan membentuk garis demarkasi. Tentunya kedua kebudayaan itu mempunyai filosofi dan corak yang berbeda.
Terkait dengan apa yang dibicarakan di atas --filsafat; Dharsono (2011) mengatakan bahwa ajaran filsafat Jawa secara tersirat menjelaskan hubungan mikro-makro-metakosmos sesuai dengan sistim berfikir mistis Indonesia. Pandangan tentang makrokosmos, mendudukan manusia sebagai bagian dari semesta. Pandangan yang dimaksud kemudian disebut Tribuana/Triloka, yakni: (1) alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindra); (2) alam skala niskala (alam terindra tapi juga takterindra); (3) alam skala (alam wedag dunia ini). Manusia dapat bergerak ke tiga alam meta kosmos tadi lewat skala niskala, yakni lewat kekuasan perantara shaman atau pawang, dan lewat kesenian (Dharsono (2004: 202-203) dalam Dharsono (Soni Kartika). 2011: 5). Bagaimana dengan Minangkabau?
Di Minangkabau; pemikiran filsafat (mistik) dapat djumpai ada kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam sekste-sekte ajaran tarekat yang mengamalkan ajaran tasauf. Kelompok ini mendapat tantangan dari masyarakat Islam modernis dan menyebabkan terjadi konflik dan perang saudara di Minangkabau. Karena menurut paham modernis; pengamalan ajaran Islam moder tasauf telah melenceng dari ajaran Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Namun demikian, sebagai bagian dari filsafat Nusantara, kiranya tasauf (mistik) yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau perlu juga dibicarakan.
Di Minangkabau; beberapa sekte keagamaan menjadikan “music” –syair-- dan zikir menjadi bagian dari sistem “peribadatan”; mengamalkan ajaran tasauf untuk menempuh perjalan suci –spiritual--  menunju sang Khaliq; mencapai kesempurnaan. Dalam konteks itu, kita berbicara tentang seni dan religi atau kepentingan keagamaan. Tentunya persoalan ini  menarik untuk dibicarakan dari segi filsafat; filsafat Barat --modern dan filsafat Nusantara. Menurut Dharsono (2010); perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani; philosophia dan berarti cinta kearifan (The Love of Wisdom). Di Jawa, “pengetahuan” (filsafat) merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan”; cinta kesempurnaan (The Love of perfection), apabila memakai analogi Philoshopia Yunani (Dharsono (Soni Kartika), 2010: 4).
Dalam falsafah –filosofi-- adat –kebudayaan-- Minangkabau; konsep kesempurnaan itu juga berorientasi pada kebenaran dan kekuasaan; kebenaran itu dibangun secara bertingkat, baik dari pandangan adat maupun dari pandangan keagamaan. Menurut Mochtar Naim (2002) mengatakan bahwa --pandangan adat, kesempurnaan itu (dalam arti kebenaran) tercermin dalam falsafah adatnya, yaitu:
Kamanakan barajo kamamak,
mamak barajo ka pangulu,
pangulu barajo kamumpakaik,
mumpakaik barajo ka nan bana,
nan bana badiri sandirinyo.

Nan Bana nan berdirii sendiri itu mempunyai kekuatan spiritual yang penggenggam utamanya secara absolut tida lain adalah Allah; al-Haqq, yang ditangan-Nya terletak kebenaran yang absolut itu (Mochtar Naim, 2002:  7). Konsep pemikiran itu muncul berdasarkan falsafah (filosofi-filsafat) adat alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Jadi di Minangkabau, antara kebenaran dan kekuasan itu berdampingan dan bertingkat. Namun kebenaran dalam tataran pemikiran manusia diletakan ka nan bana (ke yang benar); yang benar diaksud di sini hanyalah terbatas pada pemikiran manusia; sifatnya relatif.
Terkait dengan kebenaran sebagaimana dimaksud di atas, Sidi Gazalba (1974) mengatakan bahwa hukum alam berasal dari Tuhan. Hukum Islam juga berasal dari Tuhan. Karena itu keduanya disebut ”sunatullah”. Tingkat dan kebenarannya sama. Adat Minang mengambil alam sebagai guru. Sebab itulah klausul-klausul adat yang berasaskan kebenaran alam dapat mencapai setingkat dengan apa yang diajarkan Islam. Di samping segi pertentangan, asas kebenaran alam inilah yang mempertautkan segi-segi adat dengan Islam, yang membawa kepada penyesuaian (Sidi Gazalba, 1974: 12). Namun demikian, filsafat Islam di Minangkabau juga diwarnai oleh filsafat religius-mistik dengan konsep tasaufnya.
Konsep tasauf (ajaran mistik) di Minangabau dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) tasauf dengan konsep wildutul wujud dan; (2) tasauf dengan konsep wildatul suhud. Tasauf dengan konsep wildatul wujud sama dengan konsep manunggaling kaula gusti; Tuhan dengan alam semseta dan manusia merupakan satu kesatuan, seperti dikatakan Dharsono (2010) bahwa bagi filsafat Jawa, manusia adalah bagian dari hubungan yang tak dapat dipisahkan antara jagat kecil (mikrokosmos), jagat besar (makrokosmos) dan Tuhan. Demikian pula dalam mempergunakan kodrat kemampuannya selalu diusahakan kesatuan cipta-rasa-karsa (Dharsono. 2010: 5). Semenatara kosep filsafat wildatul suhud pada prinsipnya antara Tuhan dan ciptaannya tidak sama, karena esensinya berbeda; tidak mungkin terjadi konsep manunggaling kaulo gusti, walapun dalam sifat-sifat manusia juga ditemui sifat Tuhan. Secara religius dikatakan sebagai sifat ma’ani, yaitu tujuh sifat Tuhan yang ada pada manusia.
Konsep filosofi yang berkaitan dengan tasauf wildatul wujud; tentunya juga filsafat Jawa seperti dikatakan Dharsono (2010) di atas; secara filosofis dapat dajadikan dasar untuk menjelaskan persoalan yang berbeda antara filsafat Nusantara --Jawa dan Minangkabau dalam konteks religi; apa lagi bila dihubugkan dengan konteks kebudayaan dan seni. Walapun secara mendasar apa yang dikatakan Sidi Gazalba pada bagian sebelumnya mengatakan bahwa hukum alam berasal dari Tuhan. Hukum Islam juga berasal dari Tuhan. Karena itu keduanya disebut ”sunatullah”. Tingkat dan kebenarannya sama. Tapi dengan prinsip; antara Tuhan dengan ciptaannya tidak sama.
Filsafat Nusantara --Jawa, Minangkabau mempunyai dasar filosofi yang sama dari aspek religi; terutama dari sisi tasauf (filsafat reliusnya); baca wildatul wujud. Berbeda denngan filsafat Barat --modern, seperti dijelaskan Dharsono; dimana cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya, sehingga menjadi jarak atau distansi antara manusia dan lingkungannya. Kebudayaan Barat --modern mengidentifikasikan Aku (ego) manusia dengan ciptaannya (ratio--akal); bahwa filsafat Barat --modern menggambarkan manusia sebagai: manusia – lepas – hubungan. Bilamana Socrates menyebut manusia sebagai animal rationale. Fisfat Timur umumnya beranggapan bahwa di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Dharsono. 2010. 6).
Menariknya peroalan ini; dengan kasus budaya musikal talempong jinjiang di Minangkabau, bisa didekati melalui dua pendekatan filsafat, yaitu filsafat Nusantara (Minangkabau) dan Filsafat Barat --modern. Kebudayaan Minangakabu itu bersifat  dialektis-dikotomis; antara adat Minangkabau yang matrilineal dan agama Islam yang patrilineal dapat hudup berdampingan; filosofi keduanya tentu juga berbeda. Terkait dengan persoalan dialektika-dikotomis itu, Suryadi (1995) menjelaskan bahwa prilaku hidup dan konsep berfikir orang Minangkabau yang bersifat dialektis itu sebagai produk dari persitegangan antara dua sistem. Kelompok masyarakat yang tata cara hidupnya terkonsepsi berdasarkan gabungan dua sistem yang bertentangan, jelas akan memunculkan suatu dialektika yang diwujudkan dalam prilaku dan konsep berfikir mereka (Suryadi, 1995. 21).
Karena dilatarbelakangi oleh filosofi yang berbeda; kebudayaan dan tentunya juga  seni di Minangkabau, secara filosofi dipisahkan oleh garis demarkasi antara kesenian adat dan kesenian agama. Meskipun Islam masuk dan berpengaruh luas di Minangkabau, unsur adat tetap sulit untuk dileburkan dalam nilai-nilai Islam, bahkan dalam beberapa segi terdapat paradok antara sistem sosial Minangkabau dan sistem sosial dalam ajaran Islam. Salah satu perbedaan yang menjolok adalah garis matrilineal dalam adat Minangkabau dan garis patrilineal dalam Islam. Menurut Suryadi garis sejarah masuknya Islam ke Minangkabau menggambarkan kepada kita betapa bahwa kedua sistem itu pada mulanya memang tidak ingin hidup berdampingan, tapi lebih dikatakan ingin saling meniadakan. Perang Padri (1821-1837) adalah salah satu gejala dari jejak sejarah penuh darah yang menggambarkan betapa kerasnya pertentangan antara kedua sistem ini (Suryadi. 1995: 21). Garis pertentangan itu terus berlanjut, misalnya pertentangan kaum tua dan kaum muda pada masa kemudian. Pada masa sekarang di daerah-daerah pedesaan masih bisa diamati bahwa pertentangan antara kaum tua dan kaum muda tetap ada, walapun dalam intensitasnya yang paling rendah.
Sebagai bagian dari kebudayaan musikal, talempong jinjiang juga mempunyai nada-nada dan juga tangga nada sebagai sebuah sistem. Sebagai sebuah tangga nada; tentunnya ia mempunyai urutan nada yang tersusun dari nada yang paling rendah sampai pada nada yang paling tinggi. Dari pandangan filosofi--falsafah adat Minangkabau; urutan nada-nada talempong yang bertingkat itu, bisa dianalogikan seperti apa yang dikatakan Mocthar Naim; kesempurnaan dalam artian kebenaran yang tersusun secara bertingkat. Demikian pula dari pandangan filsafat Jawa seperti dikemukakan Dharsono pada bagian awal tulisan ini, dapat dipahami sebagai ngundi kasampurnaan; menuju kesempurnaan. Dari segi filsafat adat Minangkabau; tentunya ini menarik untuk diungkapkan. Karena urutan tangga nada talempong itu dapat dikatakan sebagai awal untuk lahirnya berbagai repertoar (lagu/gua) talempong yang dibentuk melalui cipta, rasa dan karsa. Dari pandangan filsafat, baik filsafat Nusantara  (Minangkabau-Jawa) tentunya menarik diungkapkan.
Bertolak dari kesatuan wujud cipta, rasa dan karsa adalah mengalami sebuah proses untuk mencapai kasampurnan (kesempurnaan). Talempong jinjiang dalam melahirkan kesempurnaan itu juga mempunyai tiga kesatuan wujud dalam membetuk sebuh lagu sebagai sebuah ciptaan yang dikatakan sempurna, yaitu pambao (pembawa; yang mengawali), paningkah (peningkah) dan palalu atau panyudahi (yang mengakhiri). Ketiganya mempunyai peran masing-masing dalam membentuk sebuah lagu; ketiganya merupakan sebuah sistem menuju kesempurnaan; sesuai dengan latar belakang filosofi adatnya yang mencerminkan budaya konflik, basilang kayu dalam tungku di sinan api mangko iduik (bersilang kayu dalam tungku di sana api bisa hidup); kehidupan itu adalah simbol kesempurnaan.
Demikian pula dalam konteks yang lebih luas; talempong sebagai produk budaya, masyarakat dan kepemimpinan, juga mencerminkan sebuah sistem yang saling berkaitan. Di Minangkabau; sistem kepemimpinan juga dikenal dengan tali tigo sapilin dan tunggku nan tigo sajarangan (tali tiga sepilin dan tungku nan tiga sejerangan). Ketiga posisi kepemimpnan Minangkabau itu dikenal dengan urang tigo jinih (orang tiga jenis), yaitu: (1) Niniak Mamak (golongan kaum adat); (2) Alim Ulama (golongan agama), dan (3) adalah cadiak pandai (cerdik pandai/ cendikiawan, kaum intekstual/ berpendidikan). Ketiganya merupakan satu kesatuan untuk berkiprah di bidang masing-masing dan menjaga keseimbangan; hasil akhirnya adalah kesempurnaan. Tentunya peroalan ini dari segi filsafat dan hubungannya dengan talempong jinjiang menarik untuk diungkapkan.

B. Pendekatan yang Digunakan
Untuk membantu menjawab atau menyelesaikan masalah yang telah dikemukakan, diperlukan pemahaman berbagai konsep yang ada kaitannya dengan topik penulisan ini. Sumandiyo Hadi (2000) mengatakan bahwa konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena sosial yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian atau peristiwa, keadaan, kelompok maupun individu tertentu. Melalui berbagai konsep diharapkan akan menyederhanakan pemikiran untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu sama lain (Sumandiyo Hadi. 2000:  17). Konsep-konsep yang muncul sehubungan dengan topik pembicaraan ini adalah: Pendekatan Filsafat, Seni, Kebudayaan Musikal Talempong Jinjiang, Minangkabau.
1.      Pendekatan filsafat adalah sebuah pendekatan dalam sebuah proses untuk mencari kebenaran atau usaha untuk mencari kebenaran. Menurut Dharsono (2007); filsafat mendasarkan diri atas penalaran secara logika dengan sintesa hal-hal yang telah kita temui serta analisis hal-hal yang belum diketahui; bahwa filsafat adalah seni bertannya diri: usaha manusia untuk memperoleh pengertian dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan mempergunakan kodrat kemampuannya (Dharsono. 2007: 108-109).
2.      Seni, berasal dari kata latin “ars” yang berarti keahlian. Kehalian yang dimaksud adalah keahlian mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi penciptaan benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah (Thomas B. Ataladjar, 1990: 525).  Dalam Ensiklopedi Indonesia dipetik bahwa definisi seni, yaitu penjelamaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komonikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Ensiklopedi Indonesia: 3080-3081).
3.      Menurut Faisal Ismail (1977) kata relegie (bahasa Belanda), religion (bahasa Inggris) keduanya  berasal dari bahasa induk dari kedua bahsa tersebut, yaitu bahasa Latin “religare” (Faisal Ismail. 1977: 28);  dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, lazimnya disebut religi dan sifat keagamaannya menjadi religius. Persoalan religius menyangkut masalah keyakinan; menurut Tomas Aquinas dalam Ernst Cassirer (1987), kebenaran religius bersifat suprarasional dan supranatural, namun tak bisa disebut “irasional”. Hanya dengan rasio saja kita tak dapat menembus misteri iman, melainkan dilengkapi dan menyempurnakan rasio (Ernst Cassirer. 1987: 109). Dalam konteks yang demikian; religi yang berasal dari kata “religare” menurut Cicero dalam H.M. Syafaat bahwa religare berarti melakukan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Sementara itu, Lactansius  dalam Syafaat mengartikan kata religare sebagai “ mengikat menjadi satu dalam suatu persatuan bersama (H.M. Syafaat. 1974: 9). Dalam pengertian yang demikian; menurut pengertian dalam bahasa Indonesia, orientasinya tidak lain dan tidak bukan menunjuk pada sistem peribadatan tertentu yang disebut agama, dan dari pandangan antropologi lebih sering disebut religi.
4.      Kebudayaan; menurut Nanang Rizali (2000) dalam Dharsono (2007) mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa  sangskerta, budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti ‘budi’ atau akal. Kata lain untuk kata ‘budi’ adalah jiwa yang di dalamnya terkandung dorongan hidup yang mendasar, perasaan, pikiran, kemauan dan fantasi. Dengan demikian, budi, akal, jiwa, roh adalah dasar dari segala kehidupan budaya manusia, kata budaya dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan, yang artinya sama dengan cipta, rasa dan karsa; bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat (Dharsono. 2007: 24). Musikal yang berasal dari kata musik merupakan produk dari kebudayaan.
5.      Talempong dalam masyarakat Minangkabau mempunyai tiga pengertian, yaitu (1) talempong sebagai alat musik; (2) talempong sebagai genre kesenian, dan (3) talempong sebagai musik.  Adam menyatakan; sebagai alat musik, talempong terdiri dari beberapa jenis, yaitu, telempong kayu, talempong batu, talempong  batuang (pen: jenis babmbu), talempong jao (pen: Jawa), talempong Unggan, dan talempong ( Boestanuel Arifin Adam, 1986/1987: 9-23).
Talempong yang dimaksud dalam penulisan ini adalah talempong yang termasuk ke dalam jenis terakhir, yaitu telempong jnjiang, adalah seperangkat alat musik pukul yang terbuat dari campuran logam dan perunggu (Bronnze) dan kuningan (Cuprum/cu), dan dimaikan oleh 3 (tiga) orang pemain. Masing-masing pemain memegang (dalam artian menjinjing; berasal dari kata jinjing-jinjiang) dua buah talempong dengan tangan kiri, dan dipukul dengan tangan kanan, atau sebaliknya, menggunakan alat pukul yang terbuat dari kayu; ia adalah bagian dari kebudayaan musikal masyarakat Minangkabau.
6.      Minangkabau mengandung pengertian kebudayaan di samping makna geografis. Dalam pengertian geografis, Minangkabau merupakan wilayah atau daerah yang terdiri atas kesatuan-kesatuan geografis, politik-ekonomis dan kultur-historis, lazim disebut, Pesisir, Darek, dan Rantau. Dalam pengertian kebudayaan, berarti ada suku bangsa Minangkabau, kebudayaan Minangkabau, dan kesenian Minangkabau. (MD. Mansoer: 1970: 2).Kesenian Minangkabau dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) seni “adat” dan : (2) seni religius. Seni yang tergolong kelompok seni adat adalah seni yang bersifat ke-Minangkabua-an; di antaranya talempong jinjiang. Seni-seni yang masuk ke dalam kelompok religius adalah seni-seni agamais modern (gaya Timut Tengah) atau seni-seni yang berkaitan dengan ajaran tasauf (mistik).

C. Filsafat Nusantara --Minangkabau: Latar Belakang Pembentukannya
Membicaraan filsafat Nusantara tidak bisa dipisahan dari pengaruh agama-gama besar, seperti Islam, Kriten, Hindu, dan Budha. Islam sebagai agama mayoritas dengan segala sekte keagamaannya terhimpun dalam berbagai gerakan tarekat (sufi) mengamalkan ajaran tasauf. Pada tingkat tertentu; corak kehiduan beragama seperti itu, tidak jarang terjadi perbedaan pendapat dalam praktek-praktek menjalankan ibadah; lantaran mazhap yang dianut mempunyai sejarah dan filosofi yang berbeda, dan bukan tidak mungkin pada tataran kebudayaan; tentunya juga seni dengan berbagai latar belakang budaya masih merekam jejak-jejak filosofi yang melatarbelakanginya.
Terkait dengan gerakan tarekat; Radjasa Mutasim (1988) menyatakan bahwa gerakan tarekat sebagai praktek pengamalan ajaran tasauf mulai muncul sekitar abad ke- 13, di tengah kemunduran politik dunia Islam terhdap dunia Barat dan Mongolia. Hal ini mendorong transpormasi spiritual melalui tarekat. Mereka tenggelam dalam keasikan spiritual dan keakhiratan selama enam abad. Kemunduran tersebut dipandang sebagai penyebab dari wataknya yang cenderung mengikari dunia, merusak semangat intelektual dan rasionalisme seperti diingatkan oleh kaum pembaharu, yang salah satu tokohnya adalah Muhamad Abduh dari Mesir (Radjasa Mutasim. 1988: 10-11).
 Berkaitan dengan bentuk pengamalan ajaran tarekat seperti dikatakan di atas, menurut Abdul Qadir Djailani (1996) mempunyai pandangan yang bercorak panteistis. Pandangan panteistis merupakan hasil konsepsi filsafat monisme, yaitu konsepsi yang berpendapat bahwa Tuhan dan Alam adalah satu (Abdul Qadir Djailani. 1996: 9). Sedangkan monoisme dan panteisme secara historis merupakan esensi dari ajaran agama Hindu yang disebut dengan jelas dalam reg weda bahwa Tuhan menjelma pada berbagi bentuk kehidupan di bumi dan di langit. Dan tujuan akhir dari agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman dan brahman –Krisna dalam dalam kepercayaan Hindu adalah anak Tuhan (Jailani. 1996: 9).[1] Pada sisi lain, teks tertua Perjanjian Baru (Injil), kitab suci Agama Kristen dikatakan sebagai berikut:
...seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani, oleh karenanya pandangan Yunani—Hindu pun sangat dominan dalam ajaran kristen. Ajaran Trinitas dalam agama Kristen pada hakikatnya sama dengan ajaran trimurti dalam agama Hindu. Kelahiran Yesus kristus sebagai anak Tuhan secara esensial sama dengan kelahiran Krisna yang juga dianggap anak Tuhan oleh agama Hindu. Ajaran tasauf (mistik) dengan filsafat monisme dan pantaiemenya dimiliki oleh Hindu dan dianut serta dikembangkan oleh Kristen, khusunya mulai periode neoplatonisme dengan tokoh Plotinus. Dengan teori emanasinya (pencerhan/al-fa’id), Plotinus benar-benar menjadi penganut monisme dan pantaisme sejati. Teori emanasi (al-fa’id) kemudian dianut oleh para filosof muslim di antaranya al-farabi, dan juga oleh sufi Muslim seperti al-Halajj dan Ibnu Arabi. Dengan demikian, ajaran tasauf yang dianut oleh umat Islam sebenarnya berasal dari ajaran Hindu yang secara tidaklangsung melalui filosof serta mistikus Yunani dan Kristen, atau melalui penganut agama Persia (Jailanai. 1996: 10).

Berkaitan dengan kutipan di atas dapat dipahami bahwa praktek keagamaan yang dilakukan para pengikut tasauf (sufi), dari segi sejarah bertalian dengan ajaran Hindu dan Kristen. Inilah yang dikatakan Abdul Qadir Djailani (1996) bahwa filsafat monisme dengan teori emansasi (al-fa’id) yang dianut kaum Syi’ah dan tasauf ternayata berasal dari Kristen sebagaimana tercermin dalam teori Plotinus Trinity (Tuhan ------ akal ------- jiwa) (Djailani. 1996: 35).[2]
Bertolak dari uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa praktek-praktek tarekat dari segi kesejarahan berkaitan dengan ajaran agama Hindu dan Kristen. Seperti dikatakan Abdul Qadir Djailani (1996) bahwa filsafat Plotinus yang memandang pengenalan (ma’rifah) bisa dipahami lewat penyaksian langsung dalam kondisi lepas jiwa dan rasa, mempunyai dampak terhadap tasauf. Ini diakui intelektual muslim bahwa pengaruh pemikiran Kristen, Yunani, dan Hindu telah turut mewarnai tasauf Islam (Djailani. 1996: 23). Terkait dengan apa yang dikatakan Djailani; Simuh (1996)  memberi alasan bahwa semenjak Islam mulai ke luar dari zazirah Arab –Mesir, Siria, Palestina, Persia dan lain-lain, ia dihadapkan dengan berbagai macam peradababan dan kebudayaan Yunani. Di samping itu, ajaran-ajaran mistik, baik yang bersumber dari Hindu-Budha, Majusi, Kristen maupun mistik Neo-Platonis telah lama mengakar pada wilayah tersebut (Simuh.1996: 69). Kelihatannya Simuh memberikan argumentasi; ketika Islam ke luar dari Jazirah Arab, ia melewati berbagai peradaban dan kebudayaan; bukan tidak mungkin ketika melintasi dan melewati peradaban dan kebudayaan itu; terjadi akulturasi atau pembauran. Dengan analogi bahwa ketika mata air keluar dari hulunya pasti bersih dari segala kotoran; namun semakin jauh perjalannya menunju laut, ia telah bergabung dengan sumber dan mata air lainnya yang membawa berbagai sampah dan kotoran.
Terkait dengan analisa yang dikemukakan Simuh bahwa di Nusantara dan juga termasuk di Minangkabau –kehidupan bergama (Islam)—tidak lepas dari pengaruh ajaran mistik, baik yang diwarnai oleh Hindu-Budaha yang tercermin dalam berbagai ajaran tarekat yang sudah berakulturasi dengan ajaran-ajaran mistik seperti dimaksud. Dalam kondisi seperti demikian berdampak terhadap berbagai aktivitas budaya --seni dalam masyarakat Nusantara; tentunya juga Minangkabau.
Pengaruh jaran Hindu dan Kristen sebagaimana telah dibicarakan di atas, hampir sama paham wihdat’ul wujud; bersatunya kembali manusia dengan Tuhan. Untuk mencapi kesatuan wujud, biasanya dilakukan denga metode zikir; saat kondisi jiwa lepas landas--mereka mengalami efek psikologis yang luar biasa –ekstase, alias tidak sadarkan diri. Kondisi seperti itulah yang diyakini sebagai tingkat wujud tertinggi dan manyatunya antara manusia dengan Tuhan secara kerohanian.
Konsep wildatul wujud seperti demikian dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti dalam pertujukan dabuih (debus) yang mempertontonkan kekebalan dari senjata tajam atau benda-benda tajam lainnya. Kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya kita kembalikan kepada teori emanasi (pancaran) yang digagas Plotinus; konsep bersatunya Atman dan Brahman, dan konsep wilda’tul wujud. Dimana dalam ketiga teori tersebut dapat mengatarkan mansia pada tingkat fana (menyatunya kembali antara manusia dan Tuhan); dimana secara hakiki (hakikad) yang namanya tubuh itu tidak ada lagi, karena sudah bersatu dengan Tuhan; sementara yang tinggal hanyalah roh. Logikanya, roh tidak dapat disentuh oleh apapun, termasuk di bakar, ditusuk, dengan benda tajam, dipukul, dan lain-lain.
Logika seperti demikian kiranya dapat diterima oleh akal, namun yang menjadi persoalan adalah: bagaimana caranya memisahkan antara jiwa dan raga? Tampaknya masing-masing agama mempunyai cara yang berbeda-beda. Dan secara ekstrim dalam sejarah ketarikatan, banyak yang menggunakan morfin, minuman keras –maksudnya yang mengandung alkohol—dipergunakan untuk mencapai tingkat kehilangan kesadaran. Karena, dengan kondisi seperti itu, secara psikologis dapat terjadi pemisahan antar “jiwa dengan raga”, walapun peristiwa seperti itu seseorang tidak dikatakan mati atau meninggal. Yang jelas jiwa mereka tidak dapat lagi mengendalikan tubuh, dan dianggap sudah menyatu dengan Yang Maha Kuasa.
Filsafat keagamaan seperti disebutkan di atas, turut mempengaruhi prilaku budaya; dan memberikan gambaran bahwa filsafat Timur --Nusantara berbeda dengan fislsafat Barat--modern. Seperti dikatakan Dharsono (2007) bahwa hal ini berlainan dengan filsafat Barat, dimana cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya, sehingga menjadi jarak atau distansi antara manusia dan lingkungannya. Kebudayaan Barat –modern mengidentivikasikan Aku (ego) manusia dengan ciptaan-Nya (ratio-akal). Maka dapat dikatakan bahwa Filsafat Barat --modern menggambarkan manusia sebagai: manusia – lepas – hubungan. Bilamana Socrates menyebut sebagai animal rational. Filsafat Timur --Nusantara umumnya beranggapan bahwa di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Dharsono (Soni Kartika). 2007: 107). Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa Filsafat Barat -- modern terlepas dari nilai-nilai ke-Tuhan-nan, pada hal dari aspek sejarah seperti tergambar dalam ajaran trinitasnya; sama filsafat Timur --Nusantara, seperti dimaksud Dharsono pada bagian sebelumnya.
Terkait dengan apa yang dikatakan Dharsono; Agus Sachari (2002) mengatakan bahwa ketika budaya Barat mengalami pencerahan, sejalan dengan reformasi dalam bidang etika dan keagamaan, terdapat pula pencerahan dalam filsafat umum. Kant menawarkan agar prinsip-prinsip estetika dapat dipahami sebagai ilmu pengetahuan dengan prinsip logika. Masa berikutnya –sesudah Kant—dikenal sebagai era estetika positivis; yang berorientasi pada pedekatan keilmuan. Kemudian, Agus Komte, Russel dkk melahirkan estetika modernisme di awal Abad ke-20 yang menandakan postivisme yang mengandalkan Aku (ego) mulai masuk ke ranah filsafat (Agus Sachari. 2002: 6-7). Sementara itu, flsafat Timur –Nusantara tetap bertahan dengan prinsip dekat dengan alam dan mengutamakan rasa; filsafat Timur –Nusantara lebih menekankan aspek intuisi daripada akal. Pada masyarakat Timur --Nusantara, kepribadian seseorang bukanlah terletak pada intelektualnya, melainkan dalam hati, yang mempersatukan akal budi, intuisi, kecerdasan dan perasaan.
Bertolak dari apa yang telah dibicarakan pada bagian ini, dapat dikatakan bahwa terbentuknya filsafat Timur –Nusantara; termasuk Minangkabau adalah bersumber dari pegaruh agama-agama besar, seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Keempat agama besar itu mempunyai simplikasi yang berbeda-beda di Nunsantara; untuk budaya Jawa, terutama pengaruh Hindu dan Islam tasauf  muncul dalam bentuk singkretisme; dalam masyarakat Bali, pengaruh Hindu sangat kental sekali. Di daerah-daerah Indonesia bagian Timur, ada pengaruh Kriten, Islam dan Hindu. Di Minangkabau dipengaruhi oleh Islam tasauf –wildatul wujud dan wildatul suhud; di samping filosofi yang bersumber dari adat mereka sendiri.

D. SENI dan RELIGI, SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT

Menurut I Made Bandem dalam Y. Sumandiyo Hadi memberikan pandangan bahwa seni dalam wilayah yang sangat luas, memungkinkannya menjadi bahasa ekspresi yang “tanpa batas”; sementara agama (religi) dengan sendirinya menunjuk pada wilayah privat yang berwatak religius. Namun demikian, keduanya tidak serta merta menjadi dua kubu yang saling bertentangan atau berlawanan, bahkan sebaliknya dapat bersinergi, dan menjadi kekuatan baru menjadi seni agamais (religius) (Y. Sumandiyo Hadi.  2000: XIX).
Di Minangkabau, seni agmais dapat dijumpai dalam aktivitas keagamaan yang menjalan ajaran tasauf (mistik), seperti dalam ratik saman (zikir saman) dan upacara basapa (syafar) dengan membaca dan menyanyikan formula zikir (menyebut nama Allah S.W.T.) dengan suara keras di bawah bimbingan seorang syeikh yang dikombinasikan dengan syair-syair yang dinyanyikan dalam gaya responsorial. Dalam agama Kristen, antara seni dan agama (religi) telah terjalin hubungan yang erat dalam peribadatan. Menurut Kartodirdjo (1986); sejak abad pertengahan hubungan seni dan agama Katolik sangat kuat. Seni tidak hanya menciptakan keindahan saja, tetapi juga meyakinkan orang pada kebenaran Injil (Sartono Kartodirdjo. 986: 23). Di kalangan Islam modernis, praktek keagamaan seperti terdapat dalam aktivitas ratik saman dipandang sebagai perbuatan “bid’ah dan menyesatkan.” Dalam pandangan kaum ini, seni dipandang sebagai kebudayaan dan bukan bagian dari sistem peribadatan.
Seni dalam agama (religi) adalah agama-agama yang mempraktekkan ajaran-ajaran tasauf (mistik). Menurut Reza Arasteh (1972) dalam Kuntowijoyo (1987) menjelaskan bahwa seni dalam agama (religi) kita  jumpai dalam ajaran mistik. Muhammad Jalal al-Din atau Maulana Rumi (1207-1273 A.D.) terkenal dengan ajaran yang jelas menggunakan pengucapan artistik untuk keperluan ritual. Jalaludin Rumi mendirikan kelompok sama’, yaitu menyelenggarakan tarian yang ekpresif, nyanyi dan musik mampu mengalihkan perasaan-perasaan spontan menjadi media artistik. Dikatakan bahwa sebagai ganti dari sembahyang dan upacara agama, sama’ telah menjadi agama bagi Rumi (Kuntowijoyo. 1987: 56).
Menurut Al-Gazali dalam Gilbert Rouget (1985), sama’ tidak mempunyai padanan dalam bahasa; ia menunjuk kepada hal yang sangat khusus pada Sufisme yang merupakan upacara dengan melibatkan umat, nyanyian dan ‘tarian’ yang menyatukan orang-orang menyembah Tuhan dan melakukan kesurupan. Pada bagian lain juga dikatakan bahwa sama’ merupakan bentuk “konser spiritual”, seperti yang disebutkan  oleh Mokri, dimana musik (nyanyi) dilantunkan atau oleh paduan suara. Konser dilakukan di bawah arahan seorang pemimpin (syekh) yang memimpin upacara dan sekaligus menjadi direktur spiritual (Gilbert Rouget. 1985: 258-266).
“Konser spiritual” sebagaimana dimaksud Al-Gazali juga ada kemiripan dengan wirid dalam pengamalan ajaran tasauf dalam masyarakat Minangkabau, seperti dalam aktivitas ratik saman (zikir saman) dan dalam ritual basapa (syafar) di makam keramat Syeikh Burhanuddin dengan tarekat Syatariyahnya. Elemen estetis atau seni dalam aktivitas ratik saman dan basapa dapat ditemukan dalam bacaan do’a salawat; dan pada saat pembacaan syair-syair (puisi) religius dan pembacaan zikir. Jadi, agama yang dibicarakan dalam konteks ini adalah agama dalam konteks religius dan bukan dalam konteks Din Islam (agama Islam). Tujuan konser spiritual itu dilakukan untuk melatih diri dan mensucikan diri untuk menempuh perjalanan suci menuju Tuhan yang dilakukan melalui keakraban. Sayyed Hossein Nasr (1993) dalam bukunya Spiritualitas dan Seni Islam menjelaskan bahwa sama’ dalam aspek inkantori (nyanyian) maupun tarian merupakan seni suci essoteris yang berusaha memungkinkan manusia untuk merasakan pengalaman spiritual dan berintegrasi ke dalam pusat utama (Sayyed Hossein Nasr. 1993: 94).
Bagi kaum sufi (pengikut ajaran tasauf) bahwa pusat utama sebagaimana dimaksud di atas itu adalah yang menguasai sekalian Alam – Tuhan. Artinya, untuk bisa masuk ke dalam pusat utama itu, seseorang harus melalui tujuh maqam (tingkat) spiritual yang berbeda-beda. Rumi dalam Hussein Nasr (1993) menganalogikan tujuh tingkatan perjalanan spiritual itu dikisahkan dalam bentuk perjalanan sekelompok burung. Mereka melintasi 7 (tujuh) lembah pegunungan kosmik Qaf yang pada puncaknya  terletak Punguasa Angkasa. Tujuh lembah yang membawa mereka ke puncak kehampaan itu adalah puncak: (1) pencarian (thalab); (2) cinta (‘isyq); (3) gnosis (magrifah); (4) kepuasan hati (istighna); (5) keesaan (tauhid); (6) kekaguman atau kebingungan (hayrat); (7) kemiskinan (faqr)dan lebur (fana ) (Hussein Nasr.1993: 116). Artinya, untuk dapat bertemu dan bersatu dengan Sang Pecipta, seseorang harus menempuh atau melalui 7 (tujuh) tahapan yang penuh dengan rintangan; di Minangkabau, konsep ini dinamakan martabat tujuh atau ilmu martabat nan tujuh.
Perjalanan spiritual sebagaimana dikisahkan –diibaratkan—dalam perjalanan sekelompok burung, juga berkembang dalam dalam masyarakat Minangkabau; terutama bagi pengikut ajaran tasauf; tentunya dalam bentuk yang berbda. Peningkatan kualitas spiritual yang mereka lakukan  untuk mendekatkan diri kepada Allah. Metode spiritual itu mereka lakukan dengan sentuhan seni (elemen estetis);  bahwa seni vocal yang mereka nyanyikan dan juga pembacaan zikir mempunyai fungsi dalam meningkatkan spiritualitas, menuju dunia transenden yang disebut alam ruh. Dalam konteks demikian, Hussein Nasr (1993) menjelaskan bahwa manfaat spiritual dari bentuk nyanyian (musik) hanya dapat diperoleh melalui penyempurnaan jiwa dan pembunuhan hawa nafsu. Hanya cara itulah yang dapat mempersiapkannya menunju dunia transenden (roh), melalui bantuan musik (nyanyian) yang bersifat spiritual (Hussein Nasr (1993: 186).
Terkait dengan apa yang dikatakan Husein Nasr; Abdul Muhaya (2003) mengatakan bahwa bagi kaum sufi (tasauf), musik memiliki fungsi yang beragam: membawa jiwa ke alam realitas, menyejukan hati, mengeluarkan permata Ilahiah yang tersimpan dalam relung hati, membersihkan hati dan meningkatkan kerinduan serta kecintaan kepada Allah atau sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (Abdul Muhaya. 2003: 11).
Dalam kondisi demikian, pada dasarnya kita berbicara dalam ranah seni dan agama. Herbet Read dalam Art and Society dalam Kuntowijoyo (1987) mengatakan bahwa dorongan estetis itu inheren pada manusia, dan masalah hubungan seni dan agama terletak dalam pertanyaan seberapa jauh suatu agama mengembangkan atau menghambat dorongan itu (Kuntowijoyo. 1987: 53). Selanjutnya Kontowijoyo (1987) mengatakan bahwa; meskipun demikian, agama dan seni secara empiris mempunyai hubungan yang erat pada mulanya. Agama mempunyai unsur ritual, emosional, kepercayaan dan rasionalisasi. Dengan dua unsur pertama, menurut Red, agama dan seni saling berkaitan, sedangkan dalam unsur yang kedua dan ketiga mulai terjadi pemisahan antara agama dan seni. Agama-agama primitif mencampurkan seni dan agama, sedangkan agama-agama besar dunia mempunyai sikap yang berbeda.[3]
Sementara itu, agama Islam (Din Islam) juga termasuk ke dalam kelompok sebagaimana dikatakan Herbet Red, terutama pada tingkatan kedua (kepercayaan dan rasionalisasi) dimana seni dan agama terjadi pemisahan. Namun kelompok-kelompok yang mengembangkan ajaran tarekat (tasauf), hubungan antara seni dan agama muncul dalam kepentingan spiritual seperti dicontohkan oleh Rumi dan pada aktivitas ratik saman (zikir saman) dan ritual basapa (syafar) di Minangkabau.
Dari pandangan tasauf (sufi); menurut Husein Nars (1993), musik (nyanyian) mempunyai peranan penting dalam meningkatkan semangat spiritualitas menuju dunia transenden (roh). Kepentingan demikian menurut pandangan sufi berfungsi mententramkan pikiran dari beban kemanusiaan (basyariyyat).  Ia merupakan stimulan untuk melihat rahasia ketuhanan (asrar-i-rabbani). Karena dalam musik terdapat ratusan ribu kegembiraan, yang salah satunya dapat membantu seseorang melintasi ribuan tahun perjalanan untuk mencapai makrifat (Husein Nars. 1993: 169). Pada bagian lain Husein Nasr (19930 menjelaskan sebagai berikut.
Musik spiritual adalah kunci pembuka khazanah Kebenaran Illahi. Para ahli ma’rifat itu bermacam-macam; sebagian mendengar dengan bantuan tingkatan spiritual (maqamat); sebagian dengan keadaan spiritual (halat); sebagian dengan penyingkapan spiritual (mukasyafat); dan sebagian lagi dengan bantuan penyaksian spiritual (musyahadat). Apabila mereka mendengar menurut tingkatan spiritual, mereka berada dalam celaan. Apabila mereka mendengar menurut keadaan spiritual, mereka tengah kembali. Apabila mereka mendengar menurut penyingkapan spiritual, mereka berada dalam persatuan (wishal); dan apabila mereka mendengar sesuai dengan penyaksian spiritual, mereka tenggelam dalam keindahan Tuhan (Husein Nars. 1993: 172 ).

Fenomena ke-arah demikian juga muncul dalam aktivitas ratik saman dan ritual basapa bahwa nyanyian –sya’ir- dan zikir mereka fungsikan untuk meningkatkan spiritualitas dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam aktivitas ratik saman dan ritual basapa, simbol konstitutif (agama-religi) dan simbol seni bersinergi dalam upaya meningkatkan semangat religiusitas untuk peningkatan spiritualitas. Itulah gambaran seni dan religi ditinjau dari pendekatan filsafat dalam masyarakat Minangkabau.

E. Kosmologi: Jawa dan Minangkabau
Dari pandangan filsafat; yang membedakan masyarakat Barat –modern dan masyarakat Timur adalah kedekatan dengan alam; mikrokosmos dan makrokosmos --kosmologi. Menurut I Kuntara Wiryamartana dalam Dharsono (2010) bahwa kosmologi adalah pandangan tata alam atau tata dunia; masyarakat Jawa menyebutnya sebagai mikro, makro, metakosmos. Mikrokosmos adalah manusia, makrokosmos adalah alam semesta, sedangkan metakosmos terdiri dari alam niskala yang tak nampak (teakterindera), alam skala-niskala yang wadaq dan tak wadaq (terindera dan tak terindera) dan alam skala, yakni alam wadaq di dunia ini (Dharsono. 2010: 9). Pandangan orang jawa dalam melihat dunia secara kosmologi –dunia atas dan dunia bawah, diapudukan dengan dunia tengah yang disebut dualisme dwitunggal. Sikap yang menggabungkan dua menjadi satu seperti itu, di lingkungan masyarakat Jawa disebut dengan singkretisme (Dharsono. 2010: 9).
Terkait dengan apa yang dikatakan Dharsono di atas tersirat bahwa hubungan mikro, makro, dan metekosmos mencerminkan cara berfikir budaya mistis Indonesia –tentunya juga dalam masyarakat Minangkabau; pandangan tentang makrokosmos, mendudukan manusia sebagai bagian dari alam semesta. Pandangan ini sama dengan falsafah orang Minangkabau; alam takambang jadi guru yang menggambarkan bahwa alam bagian dari tata kehidupan masyarakatnya; alam itulah yang menjadi guru pertama dalam merumuskan dasar-dasar hukum sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat Minangkabau; baik yang berkaitan dengan hukum perdata maupun pidana adat.
Terkait dengan kosmologi yang dibicarakan di atas; (Dharsono 2010) mengatakan bahwa pandangan tentang makro-metekosmos; dalam konsep yang kemudian disebut dengan ajaran Tribuana/Triloka, yakni: (1) alam niskala; (2) alam skala niskala; dan (3) alam skala. Menurut pandangan orang Jawa; manusia dapat bergerak ketiga alam metakosmos tadi lewat skala niskala; yakni lewat kekuasaan perantara shaman atau pawang dan lewat kesenian (Dharsono. 2010: 10). Menurut Yakob Sumarjo (2003); konsep metakosmos, selanjutnya disebut konsep mandala; adalah lingkaran yang melambangkan kesempurnaan; mandala adalah satu totalitas unsur-unsur dualitas keberadaan. Dunia atas menyatu dengan dunia Bawah melalui dunia tengah Mandala (Yakob Sumardjo. 2003: 87).
  Terkait dengan apa yang dikatakan Dharsono dan Yakob Sumardjo di atas dapat dikatakan bahwa pada tataran makrokosmos; secara filosofis pandangan masyarakat Jawa dengan Minangkabau sama, bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta ini.  Pada tataran  mikkro-metakosmos, terjadi perbedaan persepsi; walapun tidak seluruh masyarakat Minangkabau. Pada satu sisi, orang Jawa berpandangan pada konsep Mandala; dunia Atas dan dunia Bawah dapat menyatu melalui perantara shaman atau dukun dan seni. Di Minangkabau, paham ini dianut oleh para pengikut ajaran tasauf (mistik); wildatul wujud, yaitu konsepsi filsafat yang membawa ke arah bersatunya manusia dengan Sang pencita melalui tanggapan kejiwaan; ajaran ini bercorak panteisme, seperti telah dibicarakan pada bagian sebelumnya.
Untuk mencapai tingkat kesatuan wujud atau bersatunya Alam (manusia) bawah dengan alam Atas (Tuhan) dapat dipahami melalui doktrin ilmu Martabat Nan Tujuh –tujuh tahapan untuk mencapai kesempurnaan; dalam teologi Kristen melalui Plotinus dusebut dengan teori emanasi; pancaran. Dan Tujuan akhir dalam agama Hindu adalah berstunya kembali Adman dan Brahman; bisa melalui Yoga –semedi. Bagi tasauf (mistik); di Minangkabau dilakukan dengan metode zikir dan seni; ini dilakukan untuk latihan pensucian diri; jiwa yang bersihlah yang dapat mencapai tingkat berstunya kembali antara Alam bawah dengan Alam atas seperti dimaksud Dharsono dan Yakob Sumarjo.
Berbeda dengan shaman; di Minangkabau dukun tidak menjadi mendiator untuk menghubungkan mikrokosmos dengan metakosmos; artinya posisi dukun di Minangkabau tidak berada pada dunia tengah. Namun, ia –dukun—menjadi bagian tersndiri dalam kehidupan masyarakat Minangkabau; menurut pandangan agama, percaya kepada dukun adalah musrik atau dapat mempersekutukan Tuhan atau menduakan Tuhan. Relaitasnya; walapun masyarakat Minangkabau menganut agama Islam, namun tidak sedikit yang percaya kepada dukun dalam berbagai kepengtingan. Dalam persoalan perdukunan ini; orang Jawa dengan Minangkabau memperlihatkan perbedaannya. Bagi orang Jawa; dukun berfungsi sebagai perantara atau mediator antara dunia Bawah ke dunia Atas sebagaimana dimaksud Dharsono. Di Minangkabau dukun menjadi bagian tersendiri dari kehidupan masyarakatnya, dan tidak berfungsi sebagai “mediator” untuk menjembatani alam Bawah ke alam Atas seperti pandangan filsafat orang Jawa. Dalam masyarakat Minangkabau, ia –dukun—berperan sebagai perantara atau mediator untuk menghubungkan ke dunia gaib –katanya “Tuhan” untuk mengabulkan berbagai permintaan; jalan pintas.
Demikian pula dengan rumusan bilangan sacral 9 atau 8 + 1 (Ajaran Astagina) dengan delapan penjuru mata angin dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku untuk bisa menjadi pemimpin yang baik. Konsepsi ajaran Astagina itu mempunyai prinsip dasar dengan kosmologi orang Jawa seperti dikataan Dharsono (2010) sebagai berikut.
Sesuai dengan ajaran Jawa (Hindu), yaitu ajaran “Astagina” mempunya dasar prinsip dengan simbolisme kosmogoni Jawa “keblat papat kelima pancer”, yaitu termasuk di antara warna-warna primer. Warna disesuaikan dengan arah mata angin, yaitu di antara arah utama; timur, selatan, barat dan utara. Menghasilkan arah tenggara, barat daya, barat laut, dan timur laut. Warna pokok menghasilkan delapan warna campuran (Dharsono. 2010: 20).

            Ke delapan penjuru mata angin itu memancarkan empat warna dan empat warna campuran yang bersumber dari pancaran warna ditengahnya; masing-masing penjuru mata angin melambangkan  perbuatan baik sang dewa yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menjadi seorang pemimpin. Pada titik ini Dharsono (2010) mengatakan bahwa warna-warna tersebut dalam spektrum merupakan pancaran dari warna putih atau terang. Alasan inilah maka pada bagian tengah (pancer) dilambangkan tanpa warna (kosong), dalam ajaran Jawa “kosong” sebagai simbol dari Sahyang Tunggal; teologi Hindu disebut penguasa Sahyang Agung; kosong melambangkan kemutlakan Tuhan, dan kedelapan sifat-sifat baik itu –delapan dewa dinyatakan denga istilah Astabrata (Dharsono. 2010: 21-23).
            Di Minangkabau; delapan penjuru mata nagin itu juga dikenal dalam di kalangan terbatas komunitas “perdukunan”, dan digunakan dalam kepentingan yang berbeda bila dibandingkan dengan pandangan orang Jawa. Delapan penjuru mata angin itu ditempati oleh simbol-silmol yang berlawanan –kebanyakan binatang, seperti Harimau, Kucing, Elang, Ikan, Kambing, Tikus, Beringin dan laut ; simbol-simbol itu dapat dibaca sebagai hubungan makro kosmos dan miro kosmos. Masing-masing tabiat dan karakter binantang itu berhubungan dengan tingkah laku manusia di Bumi; setiap binatang mempunyai hari dan tanggal yang dihitung berdasarkan perputaran Bulan (lihat bagan berikut).
Oval: Tikus
6, 14, 22
 

                                                           
Oval: Kambing
5, 13, 21, 29Oval: Beringin
7, 15, 23                                                                       
 











            Angka-angka yang ada dalam lingkaran itu menunjuk pada perputaran hari dalam satu bulan; yang dihitung berdasarkan kalender Arab. Hitungan pertama atau tanggal 1 (satu) dimulai dari Harimau; 2 (dua) masuk pada giliran Kuncing dan seterusnya. Setiap tanggal –hari-- yang ada dalam masing-masing lingkaran itu, berhubugan dengan alam manusia --menunjukan karakter dan tabiat manusia; atau masing-masing hari yang jatuh pada tanggal yang berada di bawah lambang, memberi pengaruh terhadap aktivitas  kehidupan manusia.
Pergeseran hari dalam hitungan bulan seperti tertuang dalam delapan penjuru mata angin di atas dapat dijadikan kajian dan mempredikasi untuk berbagai kepentingan manusia. Hitungan bulan yang dimaksud adalah perhitungan  berdasarkan kalender bulan Arab; sama dengan menentukan satu Muharam dan satu Sywal; bukan berdasarkan perhitungan perputaran matahari –hitungan Masehi. Pergesran hari pada kalender Arab terjadi pada pukul 12 siang, semantara pergeseran hari pada bulan masehi terjadi pada pukul 24.00.
            Jadi berdasarkan perhitungan delapan penjuru mata angin di atas dapat dikatakan bahwa perputaran bulan mengeliling bumi berpengaruh terhadap kehidupan di bumi; pasang naik dan pasang surut merupakan contoh nyata dari kejadian itu—termasuk gerhana bulan. Di banding dengan orang Jawa; delapan penjuru mata angin dijadikan sebagai teladan dan pedoman dalam bertingkah laku. Bukan tidak mungkin, mistik Jawa juga menggunakan delapan penjuru mata angin untuk kepentingan perdukunan, dan lain-lain.

F. Filsafat Barat dan Nusantara (Minangkabu?); Tentang Talempong
Secara musikal; bagaimana urutan tanga nada talempong jinjiang sebagai produk kebudayaan dalam pandangan fisafat Barat --modern dan Nusantara (Minangkabau?) Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dari sudut pandang filsafat. Namun, sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentunya tidak mudah untuk memunculkan apa yang dipertanyakan dalam judul tulisan ini tentang filsafat Minangkabau? Namun demikian, ia tetap mempunyai filosofi tersendiri yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan sebagai bahan perbandingan antara filsafat Barat --modern dan Nusantara.
Secara filosofis, pemikiran filsafat Barat --modern sangat mengadalkan Aku (ego) rasio / logika berfikir untuk mengatakan sesuatu itu benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Menurut Dharsono (2007); filsafat Barat --modern, dimana cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya. Kebudayaan Barat --modern mengidentifikasikan  Aku (ego) manusia dengan ciptaan-Nya (ratio-akal) (Dharsono, 2007: 107).
            Dalam kebudayaan musikal –Barat --modern, secara filosofis, telah ditemukan rumusan yang berkaitan dengan penemuan tangga nada dengan skala perbandingan dari satu senar dawai yang direntangkan. Rumusan penemuan tangga nada (sistem nada) itu ditemukan oleh seorang jenius; Phythagoras. Pythagoras dalam Karl-Edmund Prier sj (2008)  menjelaskan bahwa dari getar seutas dawai adalah suatu bilangan/angka. Di dalam dunia musik semua bilangan adalah suara nada dan bilangan; itu yang menentukan tinggi rendahnya suatu nada, dan perbandingan bilangan itu menentukan jarak/interval dari satu nada dengan nada lain (Karl-Edmund Prier sj, 2008: hal 30). Berdasarkan perbandingan panjang pendeknya dawai monocord (satu alat mempunyai satu dawai yang direntangkan akan bernada rendah atau tinggi, menurut panjang atau pendeknya dan besar kecilnya tegangan rentangannya, dan kenyataan inilah yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya satu nada (Edmund Prier. 2008: 30).
            Perbandingan sebagaimana dimaksud Phytagoras menemukan empat macam nada berdasarkan empat perbandingan. Perbandingan itu adalah: 1/1= nada dasar, 2/1= oktaf, 3/2= kwin, dan 4/3 kwart. Dengan ditemukannya kwin oleh Phytagoras ini, maka tangga nada diatonis: c – d – e - f – g – a – b-- c, dapat dibentuk berdasarkan rentetan dari tujuh kwint: f – c – g – d – a – e -- b. Selanjutnya berdasarkan perbandingan kwint adalah 3/2, maka nada-nada dari tangga nada diatonis dapat dirumuskan (Edmund Prier. 2008: 30).
Terkait dengan apa yang dikatakan Edmund Priyer; William H. Haviland (1985) menjelasakan bahwa dalam sistem musik Barat, jarak antara nada dasar dan nada atasnya yang pertama itu disebut oktaf, dan terdiri atas tujuh tingkat lima nada ”utuh” dan  dua nada ”tengahan” dan diberi nama huruf A sampai dengan G. (William H. Haviland, 1985:235).
Berdasarkan teori Phytagoras seperti dikemukan Edmund Priyer dan William H. Havikad di atas, digunakan pula sistem cent sebagaimana dikemukakan Alexander Jhon Elis untuk menghitung jarak antara nada yang satu dengan yang lain. Ia membagi tangga nada diatonis yang berjarak sama (equal temperament), seperti terdapat pada pino adalah oktaf= 1200 c (cent). Dan jarak setengah nada (semintones) = 100 cent. Maka interval nada c – c#= 100 cent, dan interval nada c – d= 200cent, dan begitu seterusnya (J. Murray Barbour and Fritza Kutner, 1958: hal 1-2). Rentangan dan jarak antara urutan nada seperti dimaksud Jhon Elis dapat difomulasikan sebagai berkut.
C   200   D  200  E  100  F  200  G  200  A 200  B  100  C = 1200 cents
            Secara filosofi (filsafat) dapat dikatakan bahwa tanga nada atau sistem nada serta jarak antara nada musik Barat yang ditemukan oleh Phytagoras dan Alexander Jhon Elis dengan konsep cent-nya, adalah sebuah gambaran seperti dimaksud Daharsono tentang filsafat Barat --modern. Secara musikal, temuan Phytagoras dan Jhon Elis adalah sebuah kesempurnaan dan seklaigus sebuah kebenaran berdasarkan ratsio/ akal. Jadi, musik-musik atau tangga nada musik yang melenceng dari sistem nada sebagaimana dimaksud, tentunya sulit untuk dijadikan sebagai ukuran sebagai musik; menurut filsafat Barat.
Tekait dengan apa yang ditemukan Phyatagoras  dan Alexander Jhon Elis tentang sistem nada diatonis dan untuk menghitung jarak antara nada yang satu dengan yang lain dengan sistim cents, maka urutan nada talempong jinjiang dengan sampel talempong dari Nagari Padang Magek yang  diukur oleh Boestanuel Arifin Adam (dalam Mahdi Bahar, 1997: 7). Berdasarkan formula sistem nada musik Barat,  dapat diformulasikan sebagai berikut.
Sistem nada diatonis
1                2               3               4               5             6            7            1     

            do              re             mi              fa            sol           la             si            do

C    200     D    200    E    100    F    200   G   200   A   200   B   100  C

Jarak dari nada c (nada pertama) ke nda c (dengan jarak satu oktav) berjumlah 1200 cent, dengan ketentuan jarak c   ke   d = 200 cents dan seterusnya (lihat contoh di atas).
Adapun posisi nada pangkal talempong Padang Magek berdasarkan sistem nada diatonis dapat dijelaskan sebagai berikut.
1             2             3              4            5         6         = Urutan Dlm Angka

ais              b             cis              d              e          fis = Nada pangkal

            s+ 50, c --   b + 50, c --  cis – 20, c --  d + 20, c --  e – 35, c – fis- 30, c = Cent
.
Berdasarkan perhitungan nada dengan sistem nada diatonis di atas, dapat dikatakan bahwa nada talempong tidak mengikuti rumusan sistem nada sebagaimana ditemukan Phytagoras dan Alexander Jhon Elist. Pada titik ini Mahdi Bahar (1997) menjelaskan; maka ternyata nada yang bertangga itu bukanlah merupakan wujud dari satu hukum, baik berdasarkan perbandingan maupun  secara akustik. Kenyataan demikian menunjukan bahwa rentetan nada-nada talempong yang berbeda itu bukanlah pelahiran dari satu sistem. Yakni sistem tangga nada yang merupakan ukuran nilai estetika utama bagi masyarakat Minangkabau untuk fondasi bangunan musik mereka (Mahdi Bahar, 1997: 11).
Dalam falsafah  kebudayaan Minangkabau; konsep kesempurnaan itu juga berorientasi pada kebenaran dan kekuasaan; kebenaran itu dibangun secara bertingkat, baik dari pandangan adat maupun dari pandangan keagamaan. Mengutip kembali seperti apa yang dimaksud  Mochtar Naim (2002) bahwa --pandangan adat, kesempurnaan itu (dalam arti kebenaran) tercermin dalam falsafah adatnya sebagai berikut.
Kamanakan barajo kamamak,
mamak barajo ka pangulu,
pangulu barajo kamumpakaik,
mumpakaik barajo ka nan bana,
nan bana badiri sandirinyo.

Nan Bana nan berdiri sendiri itu mempunyai kekuatan spiritual yang penggenggam utamanya secara absolut tida lain adalah Allah; al-Haqq, yang ditangan-Nya terletak kebenaran yang absolut itu. Konsep pemikiran itu muncul berdasarkan falsafah (filosofi-filsafat) adat alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru).
Konsep pemikiran demikian bila ditafsirkan, ada tingkatan yang berjenjang atau bertangga untuk mencapai kesempurnaan; seperti terungkap dalam falsafat adat: bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Berjenjang naik itu dapat diasumsikan adanya urutan dari tangga yang pertama sampai anak tangga terakhir. Secara filosofis ada kemiripan terbentuknya susunan nada talempong  jinjiang; mencerminkan ada tingkatan nada dari nada pertama sampai nada ke enam (1    2     3    4    5    6). Formulasi  kamanakan barajo ka mamak dan berjenjang naik, bertangga turun sebagai mana dimaksud dapat diformulasikan sebagai berikut.





Falsafah Kamanakan Barajo KamamakOval: Bana Badiri Sandirinyo
Allah; al-Haq


                                                                    Ka Nan Bana
                                               Barajo                      
                                                Mumpakaik    
                               Barajo                              
                                    Pangulu          
                Barajo                                                         
                        Mamak                                
Barajo                                                             
Kamanakan                                                    
                                                                       

Falsafah Bajanjang Naik Batanggo Turun

Berjenjang Naik                                                          Bertangga Turun
 





Bandingkan dengan tangga nada musik Barat.
1                2               3               4               5             6            7            1     

            do              re             mi              fa            sol           la             si            do
 

                                                            do      1               C’ = 1200 Cent
Tangga Nada Musik Barat           si      7
                                           la        6                      6                     Fis = 770 C
                                    so      5                        5          
                           fa      4                        4
                  mi      3                        3                               Urutan Nada Talempong
            re     2                        2           
do       1                         1
              C                             Ais
C    200     D    200    E    100    F    200   G   200   A   200   B   100  C
ais+ 50, c --   b + 50, c --  cis – 20, c --  d + 20, c --  e – 35, c – fis- 30, c
Berdasarkan fakta musikal dari filsafat Barat --modern dengan filosofi adat Minangkabau dapat dikatakan bahwa terbentuknya urutan nada talempong di Minangkabau dilandasi oleh filosofi adatnya; banjanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertanga turun). Namun prinsip dasar urutan nada yang berjenjang itu tidak terikat dengan hukum tertentu, seperti perhitungan nada pada musik Barat --modern; dimana jarak antara nada pertama dengan kedua dapat diukur dan dipastikan dengan sistim cents, seperti dikemukakan Jhon Elis pada bagian sebelumnya.
Terkait dengan dasar filosofi dan pembentukan urutan nada talempong di atas;  Mahdi Bahar (1997) menejlaskan bahwa rentetan nada yang berbeda itu terlahir sebagai kehendak untuk memenuhi kebutuhan akan adanya nada-nada yang berbeda; membangun musik talempong, yang mereka perlukan adanya nada yang berbeda (Mahdi Bahar, 1997: 12). Perbedaan yang dimaksud tentunya tidak tersusun secara paralel; tapi bertingkat, seperti terungkap dalam falsafah adat berjenjang naik, bertangga turun; inilah hukum alam dalam falsafah alam terkembnag jadi guru.

G. Budaya Konflik dan Talempong
 Orang Minangkabau menurut mitologinya berasal dari orang ninik yang bersuadara seibu tapi berlainan ayah. Yang satu bernama Datuk Katumangguangan dan yang satu lagi bernama Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Menurut Mocthar Naim (1983) dikatakan bahwa dari dua orang ninik inilah dijelaskan terjadi phratry dualism yang sampai saat ini mewarnai segi –segi hidup dan kebudayaan Minangkabau, yang ke luar dan secara totalitas dianggap sebagai satu, tapi ke dalam membentuk sebuah sistem kemasyarakatan dan kebudayaan yang dialektis, dikotomis dan bipolarits (Machtar Naim, 1983: 56). Konflik membayangkan kedinamikaannya, karena dimana ada tesis, di sana diharapkan selalu ada antitesis, sedangkan konsesnsus melambangkan terjadinya proses sintesis dalam usaha mencari keseimbangan (Naim. 1983: 56).
Berdasarkan falsafah (filosofi-filsafat) adat Basiliang kayu dalam tungku di sinan api mangkonyo iduik (bersilang kayu dalam tungku di sana api bisa hidup) dengan proses pembentukan repertaoar lagu dalam ensambel talempong jinjiang. Hal itu memberikan gambaran sebagaimana dimaksud Zaiyardam Zubir (2010) bahwa silang sangketa atau pun perbedaan diakui sebagai suatu hal yang seharusnya untuk menciptakan sebuah konflik dalam masyarakat, sehingga konflik merupakan bagian yang integral dalam masyarakat, sebagai upaya mencari integrasi (Zaiyardam Zubir. 2010: 32). Perbedaan dan kebebasan merupakan dasar filosofi yang dibutuhkan dalam membangun kebudayaan Minangakabu. Perbedaan atau konflik menggambarkan dinamika dalam sebuah kebebasan yang dialektis; konsesnsus merupakan hasil akhir untuk mencapai kesempurnaan.
Budaya konflik seperti dikatakan di atas, juga tercermin dalam penggarapan lagu talempong jinjiang. Talempong jinjiang  di Minangakabau biasanya teridiri dari (1) satu set talempong, biasanya terdiri dari 5 atau 6 buah talempong; (2)  satu buah gendang bermuka dua; (3) satu atau dua buah canang; (4)  satu buah pupuik gadang. Pukulan masing-masing pasangan talempong membentuk pola ritem, jalinan ketiga pemain yang menghasilkan pola ritem berbeda akan mengasilkan melodi tertentu, dan pada akhirnya membentuk sebuah lagu. Talempong jinjiang yaitu suatu bentuk pertunjukan talempong yang dimainkan oleh tiga orang pemain. Masing-masing pemain memegang dua buah talempong yang berbeda dan mempunyai nama yang berbeda sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Pasangan pertama biasa disebut pambao (pembawa), pasangan kedua disebut paningkah (peningkah), dan pasangan ketiga disebut palalu (pelalu) atau panyudahi (penyudahi). Ketiga posisi itu mempunyai peran, dan ia merupakan satu kesatuan yang untuk terwujudnya sebuak kesempurnaan; melalui proses konflik.
Terkait dengan pola permainan telempong di atas, Kartomi (1980) menjelaskan bahwa para pemain talempong memaikan melodi-melodi cepat yang saling mengisi (interlocking), dengan pola ritem yang interlocking masing-masing pemain memegang satu atau dua buah talempong di tangan kiri dan sebuah stick kayu yang tidak dilapisi, untuk memukul alat musik tersebut di tangan kanan. Perpaduan alat musk tersebut menjali satu aliran suara musik, yang mana masing-masing alat musik menyumbangkan sebuah nada, juga dalam giliran, ataupun memberi interval, ke dalam garis melodi tersebut. Satu garis melodi dibentuk/diinprovisasikan menurut aturan (dalam batas-batas dan aturan-aturan dari tradisi musik itu sendiri). Teknik interlocking ini memungkinkan dalam membuat suatu pertunjukan dari melodi-melodi yang cepat tanpa usaha/kerja keras (great effort) pada masing-masing bagian yang dimaikan masing-masing pemain talempong (Kartomi, 1980: 114-115). Pola permaian dalam bentuk interloking itu cerminan budaya konflik; tanpa konflik atau disilangkan antara pola ritem, niscaya sebuah lagu (gua) tidak akan terbentuk. Jadi, dengan demikian, konflik sesuatu yang harus ada dalam penggarapan sebuah lagu dalam permainan talempong. Inilah yang dikatakan daam filosofi adat; basilang kayu dalam tungku di sinan api mangkonyo iduik (bersilang kayu dalam tunggku, di sana apai makanya hidup). Inilah yang dikatakan Parker dalam Dharsono (2011) keseimbangan adalah kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni walapun unsur-unsurnya tampaknya bertentangan tapi sesungguhnya saling memerlukan karena bersama-sama mereka menciptakan suatu kesatuan; dengan kesamaan dari nilai-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis (Dharsono: 2011: 29).
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa teknik basaua ( interlocking) adalah cara yang dipakai dalam membentuk suatu komposisi melodi (resultant melodies) maupun ritem, dengan cara membagi tugas antara dua atau lebih pemain. Masing-masing pemain memainkan bentuk pola ritem yang berbeda dan saling mengisi (dikonflikan), yang akhirnya menjadi satu kesatuan komposisi; itu mencerminkan bagaimana konflik dibangun untuk mencapai hasil yang bisa diterima; keseimbangan secara estestis. Secara musikal, teknik  basaua (interlocking) yang dipakai dalam penggarapan musik talempong berhubungan langsung dengan gaya permainan. Permainan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah permainan talempong; dalam arti komposisi musik sebagai produk bunyi alat musik, yang dimaikan oleh pemain talempong.

H. Talempong Jinjiang: Struktur Fertikal dan Horizontal
Struktur akan menggambarkan adanya stratifikasi; stratifikasi menjadikan berfungsinya suatu sistem; sistem mencerminkan ada institusi. Menurut Geprge Ritzer—Douglas  J. Goodman (2008) tak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali tanpa kelas. Stratfikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem; keperluan ini menyebabkan adanya sistem stratifikasi. Sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan menunjukan bahwa stratifikasi tidak mengacu kepada individu di dalam sistem stratifikasi, tetapi lebih kepada sistem posisi (kekdudukan) (Geprge Ritzer—Douglas J. Goodman, 2008: 118).
Bertolak dari pemikiran Geprge Ritzer—Douglas  J. Goodman di atas; talempong sebagai produk budaya –cultur-- musikal yang diciptakan oleh masyarakatnya; tidak dapat dipungkiri, ia pasti mempunyai kaitan atau ada benang merah yang menghubungkan keduanya. Seperti  dipertanyakan; bagaimana keterkaitan struktural talempong jinjiang (sebagai produk cultural) dengan struktur kehidupan masyarakat Minangkabau, baik secara vertikal dan horizontal. Dari sudut pandang kebudayaan, Robert K. Merton (1986) mendefinisikan kultur sebagai seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang menentukan perilaku berasma anggota masyarakat atau anggota kelompok. Struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya (Robert K. Merton, 1986: 216). Dalam hal ini, talempong dapat dipandang sebagai produk kultural, yang juga mempunyai seperangkat nilai normatif yang terorganisir; dan bagaimana hubungan keduanya?
Menurut pemikiran J. van Baal (1988) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan produk dari struktur yang mendasarinya; struktur itu sendiri merupkan suatu keteraturan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan suatu sistem relasi). Struktur harus ditemukan dengan studi dan analisa, sebab struktur itu baru muncul dengan strudi dan analisa (J. van Baal. 1988: 120).
Terkait dengan apa yang dikatakan Robert K. Merton; dan  J van Baal di atas; bahwa struktur dalam konteks kebudayaan Minangkabau dapat dibedakan secara vertikal dan horizontal. Kedua model struktur masyarakat Minangkabau itu, erat kaitannya dengan sistem poltik-hukum dari dua kelarasan, yaitu Kalarasan Kotopiliang yang digagas oleh Dt. Katumangguangan, dan Kelarasan Bodicaniago oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang.
Terkait dengan kedua tokoh legendaris Minangkabau itu; Hajizar (1988) menjelaskan  bahwa kalarasan Bodi Caniago dengan tokoh pelopornya Datuak Parpatiah Nan Sabatang menganut gaya pemerintahan sistem domokrasi. Dalam sistem ini, pengambilan keputusan yang akan dijalankan dalam pemerintahan dilakukan secara musyawarah. Kalarasan Koto Piliang dengan tokoh pelopornya Datuak Katumangguangan. Gaya pemerintahannya lebih bersifat otokrasi, tetapi tetap mengnadung unsur musyawarah. Keputusan-keputusan hanya dimusyawarhakan pada tingkat pimpinan tertinggi saja, dan masyarakat harus menerima hasil keputusan yang diturunkan dari atas (Hajizar. 1988: 49-50).
Dt. Katumangguangan dengan Kelarasan Kotopiliang-nya lebih terkesan otokrasi; gaya pemerintahannya diistilahkan dengan titiak dari ateh (titik dari atas); kesan seperti itu memberikan gambaran bahwa struktur yang dibangunya vertikal atau bertingkat (lihat falsafah adat seperti dikemukakan Mocthar Naim pada bagian sebelumnya: kamanakan barajo ka mamak dan seterusnya). Demikian pula terhadap struktur masyarakat di bawah kendali mamak; dikenal dengan istilah kamanakan di bawah daguak (kemenakan di bawah dagu; (2) kamanakan di bawah pusek (kemenakan di bawah pusat) dan ; (3) kamanakan di bawah lutuik (kemenakan di bawah lutut (lihat bagan berikut).
Falsafah Kamanakan Barajo KamamakOval: Bana Badiri Sandirinyo
Allah; al-Haq


                                                                    Ka Nan Bana
                                               Barajo                      
                                                Mumpakaik    
                               Barajo                                                       (4) Mamak Suku
                                    Pangulu                                   (3) Mamak kaum
                Barajo                                              (2) Mamak Nan Sabuah Paruik
                        Mamak                        (1) Mamak Rumah    
Barajo                                                 
Kamanakan                                                                 
 

                     
            Kamanakan di bawah daguak

Kamanakan di bawah pusek                 Model Kotopiliang

Kamanakan di bawah lutuik
Itu adalah gambaran struktur masyarakat di bawah tradisi politik-hukum kelarasan Koto Piliang. Struktur masyarakat seperti itu berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam kaummnya, terutama bila dikaitkan dengan warisan gelar pusaka dan kewenangan lainnya dalam struktur masyarakat dalam nagari. Gambaran struktur seperti dimaksud, paralel dengan struktur urutan nada talempong; dari nada terendah sampai nada tertinggi.
Struktur masyarakat yang dibangun oleh kelarasan Bodi Caniago lebih bersifat demokratis. Untuk menggambarkan struktur masyarakatnya dengan ungkapan; kamanakan batali darah (kemenakan bertali darah); kamanakan bertali adaik (kemenakan bertali adat); dan kamenakan batali budi (kamanakan bertali budi); dan kamanakan batali ameh (kemenakan bertali emas). Dalam konsep lain juga ada yang menyebutnya; (1) kamanakan kanduang (kemenakan kandung); (2) kamanakan saparuik (kemenakan seperut), dan ; (3) kamanakan sekaum (kemenakan sekaum)..   Secara filosofis, tergambar adanya kesetaraan –horizontal--antara sesama manusia; namun dari segi hak dan kewenangan tetap berbeda. Ini juga tergambar dalam struktur pembentukan lagu talempong; masing-masing posisi (pambao, paningkah dan palalu) menggambarkan struktur yang paralel; masing-masing posisi mempunyai kewenangan yang melekat pada struktur musik yang dibangun. Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa secara struktural, musik dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, terdiri dari bagian-bagian musikal yang saling mendukung. Gambaran struktur mayarakat (kemenakan) model Kalarasan Bodi Caniago dan kaitannya dengan struktur pembentukan lagu talempong dapat dilihat pada bagan berikut.




            Pembentukan Lagu Talempong                      Struktur Kemenekan Horizontal
KBB
 
KBA
 
KBD
 
TLP3
 
TLP2
 
TLP1
 
           
 






Catatan;                                                               Catatan:
TLP1 = Talempong Pambao                              KBD = Kamanakan Batali Darah
TLP2 = Talempong Paningkah                           KBA = Kamanakan Batali Adaik
TLP3 = Talempong Panyudahi                           KBB = Kamanakan Batali Budi

Pada tingkat pimpinan; struktur paralel itu juga tergambar dalam ungkapan falsafah adatnya, yaitu tungku nan tigo sajarangan yang teridiri dari Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai. Ketiga isnstitusi itu mempunyai peran dan kewenangannya masing-masing; persoalan anak-kemenakan atau masyarakat yang bertalian dengan adat, yang berwenang menyelesaikannya adalah Niniak Mamak. Persoalan anak-kemenakan atau masyarakat yang bertalian dengan agama, yang berwenang menyelesaikannya adalah Alim Ulama; demikian pula, segala urusan anak-kemenakan atau masyarakat yang berkaitan dengan masalah di luar yang dua tadi, seperti urusan politik, hukum, pendidikan, ekonmi dan lain-lain diserahkan kepada Cadiak Pandai. Model kepemimpinan seperti dalam ungkapan tersebut diistilahkan dengan tali bapilin tigo, tungku nan tiggo sajarangan (tali bapilin (berjalin) tiga, tungku nan tigga sajarangan).
Gamabaran struktur paralel seperti disebutkan di atas, juga sama dengan struktur musik talempong jinjiang; masing-masing posisi (pambao, paningkah, dan palalu) mempunyai peran dan kewenangan yang sama dengan falsafah tungku nan tigo sajarangan, dan masing-masing berkontribusi dan saling berjalinan  seperti dimaksud dengan tali bapilin tigo (tali berpilin tiga). Pola ritem yang dimainkan oleh masing-masing pemain talempong, harus disilangkan untuk membentuk sebuah lagu; tanpa adanya persilangan dari tiga pemain tadi, lagu tidak akan terbentuk. Inilah yang dikatakan dalam falsafah adat mereka; basilang kayu dalam tungku, di sinan api mangko ka iduik (bersilang kayu dalam tungku, di sana api makanya hidup). Itu merupakan gambaran bahwa konflik merupakan hal yang harus ada dalam permainan talempong jinjiang. Inilah yang dikatakan Zayardam Zubir (2010) bahwa konflik mempunyai kedudukan penting dalam menumbuhkan dinamika kebudayaan. Konflik tidak hanya membawa ke arah perpecahan, sebaliknya konflik inilah yang menjadi sumber dinamika dalam masyarakat Minangkabau (Zayardam Zubir. 2010: 33).
            Terkait dengan hubungan struktur musik atau bunyi musik –talempong jinjiang-- sebagai perilaku manusia atau sebagai produk budaya dan struktur masyarakat sebagai pemilik kebudayaan, seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya; tidak dipungkiri bahwa keduanya mempunyai keterkaitan. Alan P. Merriam (1964) menjelaskan bahwa bunyi musik sebagai hasil perilaku manusia memiliki struktur tertentu; dan mempunyai suatu sistem, namun ia tidak dapat berdiri  sendiri; terpisah dari masyarakat pendukungnya  (Alan P. Merriam. 1964: 32).  Terkait dengan apa yang dikatakan Merriam; T.O. Ihromi menegaskan bahwa musik sebagai hasil perilaku manusia, memiliki struktur tertentu dan mencerminkan sebagian sistem gagasan dan tindakan masyarakatnya. Bahwa kebudayaan merupakan pencerminan atau perwakilan lahiriyah dari struktur pikiran manusia yang mendasarinya (T.O. Ihromi. 2009: 66). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telempong jinjiang mempunyai kaitan yang erat dengan struktur masyaraknya.

Kesimpulan
Dari sudut pandang filsafat Barat (modern), urutan tangga nada talempong tidak mencerminkan bahwa ia dibuat berdasarkan ciptaan individu. Apa yang dikatakan music dalam kebudayaan Barat (konvensional), merujuk pada sebuah system music sebagaimana ditemukan oleh Pythagoras dan Alexander Jhon Elis. Sementara itu; talempong sebagai kebudayaan musical tidak diciptakan berdasarkan rumusan music sebagaimana dimaksud filsafat Barat. Walapun sebagai music, ia juga mempunyai urutan nada (tangga nada), tapi tidak tunduk terhadap kaidah-kaidah yang berlaku seperti music Barat.
Musik sebagai hasil perilaku manusia memiliki system dan struktur tertentu. Secara structural, music dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh terdiri dari bagian-bagian musical yang saling mendukung. Keutuhan sebuah lagu dari talempong, mestilah didukung oleh bagian-bagian yang berparan dalam struktur musiknya; peran itu terdiri dari pambaoan, panyaua, dan panyudahi. Pola ritem dari masing-masing bagian membentuk sebuah lagu (gua), yaitu melalui persilangan dari masing-masing posisi; dari situlah tercitanya sebuah lagu. Inilah yang dikatakan dalam filosofi adat Minangkabau; basiliang kayu dalam tungku di sinan api mangkonyo iduik (bersilang kayu dalam tungku di sana api bisa hidup).
Struktur talempong jinjiang secara vertikal dapat dilihat dari urutan tangga nadanya; struktur yang demikian sejalan dengan struktur masyarakat Minangkabau gaya Kalarasan Datuak Katumangguangan yang secara hirarki dikatakan bajanjang naiak, batanggo turun; adanya tingkatan-tingkatan yang mencerminkan urutan secara vertical. Namun dalam pemebentukan lagu; secara structural, posisi yang terdiri dari pambaoan, panyaua, dan panyudahi berada dalam posisi yang sejajar atau horizontal; ia tidak menunjukan yang satu lebih tinggi dari pada yang lain. Ini mencerminkan filosofi Kalarasan Bodi Caniago; duduak samao randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, tegak sama tinggi).












DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Adam Boestanuel, 1986/1987. ”Talempong Musik Tradisional Minangkabau. Laporan Ppenelitian. ASKI: Padangpanjang.

Ataladjar, Thomas B. 1990. “Seni”. Dalam Ensiklopedi Indonesia. Jilid 14: Jakarta.

Baal, J. van. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya; Hingga Dekade 1970. Jilid 2. Jakarta: Gramedia.

Bahar, Mahdi. 1997, ”Adakah Sistem Tangga Nada Talempong Musik Tradisional? Makalah. Disampaikan daam Seminar Jurusan Karawitan.

Banoe, Pono, 2003.  Kamus Istilah Musik. Jakarta: C.V. Baru.  

Darsono (Soni Kartika). 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sain.
-------------- (Soni Kartika). 2010. “Estetika Nusantara, Orientasi Terhadap Filsafat, Kebudayaan, Pandangan Masyarakat, dan Paradigma Seni. Prosiding Seminar Nasional Estetika Nusantara. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Ensiklopedi Indonesia.  Jilid V. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru –Van Hoeve.

Gazalba, Sidi, 1974. “Adat, Agama dan Kebudayaan Barat”. Majalah Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minangkabau.

Hajizar. 1988. ”Studi Tekstual Dan Musikologis Kesenian Tradisional Minangkabau Sijobang: Kaba Angun Nan Tongga Magek Jabang”. Skripsi Sarjana.Medan: Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastera Universitas Sumatra Utara.

Haviland, William H., 1988. Antropologi Jilit I. Terjemahan R.G.Soekadidjo. Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T.O. 2009. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Kartomi, J, 1980. Musical Strata in Sumatera, Java and Bali dalam Musics of Many Cultures. Ed. E. May.Barkeley and Los Anggeles. University of California Press.

Mansoer, M.D. dkk, 1970: Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bratara.

Merriam, Alan P. 1964. Anthropology of Music. Chicago: Northwestern University Press.

Merton, Robert K. 1986. Social Teori and Sicial Strukture. New York: Free Press

Naim, Mochtar. 2002. ’Menelusuri Jejak Melayu Minangkabau Melalui Pendekatan Konflik’, dalam Menelusuri Jejak Melayu Minangkabau (eds.) Padang: Yayasann Citra Budaya Indonesia.

Ritzer, Geprge—Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group.

Suryadi. 1995. “Dialektika Adat dan Agama Dalam Sastra Lisan Minangkabau:, Horison Majalah Sastra dan Budaya. No. 12, Th ke-4. Jakarta:  Yayasan Obor Indonesia.
Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya. Bandung: Penerbit ITB.

Priyer sj , Kart-Edmund, 1991. Sejarah Musik Jilid I. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Zubir, Zaiyardam. 2010. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan. Yogyakarta: INSISTP Press.
Faisal Ismail. 1977. ParadigmaKebudayan Islam. Jakarta: Titian Illahi Pres. P. 28.

Faisal Ismail. 1977. ParadigmaKebudayan Islam. Jakarta: Titian Illahi Pres.

Ernst, Cassirer. 1987. Manusia dan Kebudayaan; Sebuah Esei TentangManusia. Jakarta: Gramedia.

H.M. Syafaat. H. M. 1974. Islam Agamaku. Jakarta: Wijaya.


Mu’tasim, Radjasa. 1988.  Bisnis kaum Sufi: Studi tarekat Dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djelani, Abdul  Kadir. 1996, Koreksi Terhadap Ajaran Tasauf. Jakarta: Gema Insani Press.

Bayat, Mojdeh. 1977. Thales From the Land of  The Sufis. Terj. M.S. Nasrolloh. Jakarta: PT. Lentera Baristama.

Simuh. 1996. Sufisme Jawa,: Transpormasi Tasauf Islam Ke Mistik. Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya.

Dharsono (Soni Kartika). 2007. Estetika. Rekayasa Sain Bandung.
Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan; Sebuah Esei TentangManusia. Jakarta: Gramedia.

Djailani, Abdul Qadir. 1996. Koreksi Terhadap Ajaran Tasauf. Jakarta: Gema Insani Pres.

Hadi, Y. Sumandiyo.  2000.  Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.

Husein, Nasr Seyyed. 1993. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Penerbit Mizan.

Ismail, Faisal. 1977. ParadigmaKebudayan Islam. Jakarta: Titian Illahi Pres.

Kartodirjo, Sartono. 1986. Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur; Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana.

Muhaya, Abdul. 2003. Bersufi Melalui Musik. Yogyakarta: Gama Media.

Rouget, Gilbert. 1985. Music and Trance. Chicago: University of Chicago Press.






















Lampiran ini memberikan contoh ensambel talempong jinjiang



Gambar 1. Talempong



Gambar 2. Teknik Menstem Talempong



Gambar 3.  Teknik Memainkan Talempong


Gambar 4. Memainkan Talempong dalam Posisi Duduk



Gambar 5. Memainkan Talempong dalam Posisi Berdiri







Sebagai bagian dari produk budaya merupakan pencerminan atau perwakilan lahiriyah dari pikiran masyarakatnya. Oleh karenanya, ia –talempong jinjiang-- juga memiliki sistem dan struktur tertentu, sebagaimana masyarakat juga memilikinya. Teori yang dipakai untuk menemukan hubungan antara keduanya; didasari oleh kajian Antropologi sebagaimana dikemukakan Merriam (1964); bunyi musik sebagai hasil perilaku manusia memiilki struktur tertentu; dan merupakan suatu sistem, namun ia tidak dapat berdiri sendiri atau terpisah dari masyarakat pendukungnya (Alan P. Merriam. 1964: 32). Terkiat dengan Merriam; Blacking (1973) menjelaskan bahwa struktur musik mencerminkan sistem kognitif yang melahirkan struktur lain, termasuk struktur masyarakat yang melahirkannya (Jhon Blacking. 1973: 24-25). Lebih jauh Blacking menjelaskan sebagai berikut.
Bahwa musik adalah suara yang tersusun secara manusiawi oleh manusia, mestinya ada hubungan antara pola penyusunan  dengan pola-pola suara (musik) yang dihasilkan oleh manusia. Bila suara musik dianggap sebagai objek, dan manusia yang menciptakan musik tersebut adalah subyek, maka kunci dalam memahami musik berada dalam hubungan-hubungan yang terdapat antara subyek dan obyek, yakni berupa prinsip-prinsip yang berlaku dalam (membentuk) organisasi (struktur) masyarakat dan struktur musik yang dihasilkannya (Jhon Blacking. 1973: 24-25).

Terkait dengan apa yang dikemukakan Merriam; Blacking di atas; T.O Ihromi (2010), dari sudut pandang antropologi budaya mengemukakan bahwa musik sebagai hasil perilaku manusia yang memiliki struktur tertentu mencerminkan sebagian sistem gagasan dan tindakan masyarakatnya; kebudayaan merupakan pencerminan atau perwakilan lahiriyah dari struktur pikiran manusia yang mendasarinya (T.O Ihromi. 2010: 66). Lebih tegas, Baal (1988) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan produk dari struktur yang mendasarinya. struktur itu sendiri merupakan suatu keteraturan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan (suatu sistem relasi). Struktur harus ditemukan dengan studi dan analisa, sebab struktur itu baru muncul dengan studi dan analisa (J van Baal.  1988: 120).



[1] Selanjutnya dijelaskan bahwa Agama Hindu merupakan sebagai agama tertua di dunia yang lahir di India dengan kitab sucinya Weda (1250 SM).Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga dikatahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reikarnasi yang berasal dari ajaran agama ini (Jailani. 1996: 9).
[2] Dalam dunia Kristen, filsafat monisme dengan teori emanasinya, dengan tokoh utamanya Plotinus. Dalam buku Enneades, Plotinus menyatakan bahwa pusat semua wujud alam semesta (universum) adalah Tuhan Yang Maha Esa, ...hakikat segala sesuatunya. Dari Tuhan Yang Maha Esa itu memancarlah (emanasi atau al-fa’id) akal (nous, mind atau spirit) sebagai tingkat terteinggi, seperti ke luarnya sinar dari benda yang bercahaya. Akal tersebut adalah “fikiran tertinggi” bagi universum dan bagi dunia ide serta gudang dari dunia materi. Dari akal memancarlah “jiwa tertinggi” (over-soul) yang menjadi pokok kehidupan, kegiatan, dan pertumbuhan. “Jiwa tertinggi” tersebut menjadi hidupnya semua kehidupan dan berisi semua jiwa. Dari “jiwa tertinggi” memancarlah dunia nyata, yang serba neka. Materi adalah sesuatu yang tidak nyata, ia hanya pembatas bagi jiwa yang hakiki dan abadi. Teori Plotinus dengan filsafat monisme dengan emanasinya dikenal dengan nama Plotinus Triniti (Tuhan Yang Esa ------ akal ------jiwa). Panteisme ini hanya dapat dicapai dengan jalan “tasauf” (Abdul Qadir Djailani. 1996: 35).
[3] Weber, Max . 1964. The Sociology of Relegion. Dalam Kontowijoyo (1987);  sebagai Ilustrasi, Weber dan Wiliam James menjelaskan bagaimana perbedaan sikap agama-agama terhadap seni. Menurut Weber, agama orgiastik cenderung mengembangkan nyanyidan musik, agama ritualistik cenderung kepada seni-seni pictorial, dan agama yang menganjurkan cinta akan menyukai perkembangan puisi dan musik. Demikian juga perbedaan yang terjadi antara Katolik dan Protestan. Menurut William James bahwa Katolik penuh dengan bentuk-bentuk yang menggugah hasrat manusia, sedangkan Protestan, sebaliknya, nampak sebagai sebuah rumah orang miskin dalam segi kaitan agama dan seni (Kontowijoyo. 1987: 54).